Oleh: Firdaus Putra, HC.

Saat ini aplikasi Uber di London, Inggris, sedang berjuang untuk peroleh lisensinya kembali. Pemerintah lakukan banned pada perusahaan platform itu. Sebabnya karena Uber dinilai tak fit and proper pada aturan transportasi yang ada. Misalnya, beberapa kali terjadi kekerasan seksual kepada konsumen yang dilakukan pengemudi. Lisensi profesional para pengemudi juga dipertanyakan.

The Guardian (23/ 9/ 2017), melaporkan petisi dukungan kepada Uber telah mencapai lebih dari 500 ribu tanda tangan. Alasannya, masyarakat membutuhkan layanan murah itu dibanding black cab atawa taksi konvensional yang lebih mahal. Selain akan ada 40 ribu pengemudi Uber hilang kerjaan. Sebagian publik juga marah pada Sadiq Khan, Wali Kota London. Apakah itu akhir cerita dari sharing economy yang dikembangkan Uber?

Sharing Economy

Sharing economy atau secara umum collaborative economy beroperasi di atas basis keuntungan efisiensi (efficiency gains) dari proses mengolaborasikan aset-aset yang menganggur (idle asset). Misalnya adalah platform berbagi kamar seperti yang dilakukan Airbnb. Berbagi moda transportasi: Gojek, Uber, Grab dan lainnya. Berbagi finansial: Uang Teman, Gandeng Tangan dan seterusnya.

Dengan mengolaborasikan aset-aset individual yang menganggur itu, platform tak perlu lakukan investasi infrastruktur seperti dalam model bisnis konvensional. Ia tak perlu mempunyai mobil seperti Bluebird untuk membangun perusahaan transportasi. Juga tak perlu membangun gedung hotel seperti Aston untuk selenggarakan layanan penginapan.

Aset-aset itu ia mobilisasi dari masyarakat yang belum didaya-gunakan (idle). Masyarakat, dalam konteks itu, memperoleh manfaat. Sebagai mitra ia memperoleh nilai tambah dari penyewaan aset. Sebagai konsumen, ia peroleh harga lebih murah (low price) dibanding layanan konvensional.

Di atas kertas, model bisnis itu terlihat sederhana dan berikan manfaat bagi semua pihak saat pertemukan supply and demand. Bagaimana nyatanya? 

Harga Murah

Selain potret reaksi masyarakat terkait dilarangnya Uber oleh pemerintah, The Guardian juga merilis opini yang ditulis seorang pengemudi secara Anonim. “I’m glad it’s all over for Uber in London, and I work for them”, demikian judulnya. Judul yang aneh, bukan? Bukannya sedih, namun justru dia merasa senang dengan dihentikannya izin operasi Uber di London.

Sebabnya tak lain karena ini, “Apa yang pelanggan tidak mengerti adalah bahwa kita pengemudi harus bekerja berjam-jam hanya untuk menutupi biaya overhead. Yang itu dapat menyebabkan kecelakaan karena kelelahan. Karena kami wiraswasta, kami tidak mendapatkan libur atau gaji saat sakit”.

Kisah yang senada juga ditemukan di Indonesia seperti hasil riset Aulia Nastiti, Kandidat Doktor Ilmu Politik Northwestern University dalam The Conversation yang viral di media sosial belum lama ini (26/ 9/ 2017). Dalam risetnya Aulia menemukan fakta eksploitasi terjadi pada pengemudi ojek online yang berafiliasi dengan Gojek, Uber dan Grab. Melalui apa yang ia sebut dengan “gamification of work”, pengemudi tak memiliki banyak ruang kendali atas layanan.

Aulia menulis, “Posisi sebagai “mitra” mengharuskan pengemudi untuk menyediakan alat produksi mereka sendiri (kendaraan) dan menanggung biaya bahan bakar, parkir, perawatan, asuransi kendaraan, dan komunikasi dari saku mereka sendiri. Akibatnya, semakin banyak mereka bekerja, semakin mahal pengeluaran, semakin besar risiko kelelahan dan kecelakaan yang mereka hadapi”.

Tentu kasus Uber di London dan temuan Aulia di Indonesia menampar wajah Nadiem Makarim beserta CEO perusahaan platform lainnya. Pasalnya, baru-baru ini Gojek dinobatkan sebagai Perusahaan Pengubah Dunia peringkat 17 dari 50 perusahaan versi majalah Fortune (September 2017). Katanya, Gojek telah mengangkat tingkat penjualan beragam pelaku UMKM yang berafilisi dengannya.

Pengemudi Gojek di Indonesia nampaknya tak selalu bangga dengan capaian itu. Pasalnya, aspirasi konsumen terkait harga murah justru menjadi problematis. Proses pembentukan harga atas layanan online belum mencerminkan harga pasar yang sesungguhnya. Harga, sesungguhnya merupakan titik temu antara permintaan dengan penawaran. Dimana pada sisi penawaran, seorang pengemudi memasukkan berbagai biaya-biaya (overhead) yang dikeluarkan. Seperti: bensin per jarak tempuh, asuransi, perawatan kendaraan, biaya komunikasi dan seterusnya.

Di sisi lain, harga yang ditawarkan Uber dan Gojek tentu dibawah harga pasar layanan taksi atau ojek pangkalan. Tentu saja konsumen senang. Sebabnya karena harga masih diintervensi oleh platform sebagai bentuk promosi dan upaya pemasaran lainnya. Seorang pengemudi Gojek, misalnya, akan kejar bonus trip daripada uang bensin dari konsumen. Masalahnya, untuk peroleh bonus harian itu, pengemudi harus penuhi target-target, yang dalam bahasa Aulia ia sebut sebagai gamification of work.

Model bisnis itu membuat konsumen benar-benar nampak sebagai raja, alih-alih seorang diktator. Pengemudi Uber di London menulis, “How can you, as a customer, justify those expensive drinks you had in the bar but not be willing to pay a little extra to get home in the safety of a minicab or black cab?” Itu gambarkan bagaimana masyarakat bisa bayar minuman mahal di bar, namun sungkan bayar sedikit lebih mahal untuk taksi konvensional, yang lebih aman, katanya.

Di sana hukum ekonomi bekerja untuk konsumen: mengeluarkan sesedikit mungkin sumberdaya, untuk sebanyak-banyaknya barang atau jasa. Sayangnya, hal itu tak berlaku bagi pengemudi.

Tirani Platform

Hukum ekonomi itu tak bekerja maksimal bagi pengemudi sebab dikangkangi kuasa tirani platform. Perusahaan platform, meskipun idealnya bertugas memoderasi supply dan demand, nyatanya lakukan produksi harga. Modal panas para venture capital atau angel investor digerojog ke pasar dalam berbagai skema promosi atau marketing gimmick. Gerojogan itu pertama-tama dirasakan oleh konsumen: low price.

Posisi pengemudi dalam kerangka model bisnis seperti itu hanya sebagai mitra. Artinya ia secara sukarela mengikatkan diri dengan protokol-protokol tertentu yang ditetapkan oleh penyedia platform. Imbal balik bagi mitra asimetris dengan tuntutan penyedia platform. Ambil atau lepaskan, take or leave it! Kenyataannya, kemitraan itu tak setara. Penyedia mengendalikan berbagai aturan dengan berbagai rule of the game.

Sebagian yang nyinyir menyederhanakan argumen: ya tinggal leave saja bila merasa tereksploitasi. Menurut BPS, pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 5,33 persen pada Februari 2017. Angka itu berarti ada sekira 7 juta orang menganggur dari 131 juta angkatan. Belum lagi ditambah fakta bahwa 58 persen angkatan kerja, bekerja di sektor informal yang subsisten. Artinya, hari ini bekerja, besok belum tentu. Jadilah mitra beradu nasib dalam pasar kerja meski dengan tingkat eksploitasi tertentu. Dalam kondisi seperti itu, bisa dipahami bila akhirnya penyedia platform cenderung berlaku tiranik melihat pasar kerja yang ada saat ini.

Pada 2015 lalu, di saat pemerintah lakukan teguran, Gojek berdalih bahwa mereka bukan perusahaan transportasi. Sebab itulah mereka tak perlu perhatikan hubungan industrial antara penyedia dengan mitra. Misalnya, asuransi kesehatan, tunjangan komunikasi, tunjangan hari tua, biaya perawatan armada dan seterusnya. Para mitra sekedar tenaga kerja lepas (offshore) yang mengakses layanan.

Dalam model bisnis seperti itu, kita lihat puluhan ribu prekariat yang menggantungkan nasib. Prekariat atau precarious proletariat merupakan orang-orang yang bekerja di sektor formal namun tak peroleh hak-hak sebagaimana pekerja formal lainnya. Bentuk awalnya seperti model pekerja alih daya (outsourcing), yang tercanggih adalah “mitra” dari penyedia platform.

Ujungnya, penyedia platform tak hanya peroleh efficiency gains dari proses bisnis, namun juga keuntuntungan atas penangguhan biaya dari pengalihan resiko ketenagakerjaan konvensional. Cara baca demikian terlihat suram, bagaimana penyedia platform yang dibangun oleh para lulusan kampus dunia, justru terlihat mengakali para prekariat yang sudah terhimpit secara struktural.

Saat ini ada sekitar 250 ribu mitra Gojek, 1200 pengemudi Grab dan 6000 mitra Uber. Sebagai contoh, seperti Gojek, mereka layani 10 juta konsumen tiap minggu. Tingkat penetrasi pasar yang demikian kuat membuat valuasi Gojek sangat tinggi. Per Juni 2017 ditaksir angkanya mencapai 40 trilyun rupiah setelah dapat suntikan modal dari China sebesar 16 trilyun. Dengan valuasi yang sedemikian fantastis, bisnis aplikasi idealnya bisa memoderasi up stream dan down stream sehingga besarnya kue bisa dirasakan para mitra sebagai ujung tombak layananya.

Saat ini tarif pengemudi dibayar Rp 1.000-2.000 per kilometer yang nyatanya tak mencukupi untuk penuhi kebutuhan harian mereka. Skema sharing economy harusnya dapat pertemukan supply and demand secara adil.

Kasus Uber di London serta Gojek, Grab di Indonesia menyingkap kotak pandora yang selama ini tertutup. Sebuah pertanyaan bagaimana mekanisme pembentukan harga murah, platform yang tiranik dan eksploitasi yang melingkupinya. Uber, Gojek, Grab dan yang lain harus bisa menjawabnya atau mereka akan disebut sebagai unethical sharing economy. Kita tunggu! []

Telah dimuat: https://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/02/090000826/kotak-pandora-sharing-economy-