Oleh: Firdaus Putra, HC.

Sebaran koperasi Indonesia berdasar lapangan usaha didominasi sektor jasa. Data menyebut sebanyak 43,42 persen dari 127.846 koperasi aktif bergerak di jasa keuangan dan asuransi (Kemenkop UKM, 2021). Kemudian jasa lainnya sebesar 34,47 persen. Total kedua sektor itu mencapai 77,89 persen.

Sektor usaha lain yang menjadi primadona koperasi adalah pertanian, kehutanan dan perikanan di angka 9,16 persen. Disusul penyediaan akomodasi dan makan-minum 8,32 persen. Terakhir sektor perdagangan besar dan eceran hanya mencapai 1,92 persen. Ada juga 12 sektor lainnya, sesuai klasifikasi lapangan usaha nasional, namun semuanya di bawah satu persen.

Kesimpulannya sederhana, 7 dari 10 koperasi di Indonesia berusaha di bidang jasa. Pertanyaanya, mengapa hal itu terjadi, apa implikasinya dan sektor usaha mana yang menjadi unggulan?

Sektor Usaha

Sejak dipimpin Menteri Teten Masduki, Kementerian Koperasi dan UKM melakukan reorientasi pengembangan koperasi ke arah sektor riil. Strategi itu tepat, sebab koperasi di Indonesia telah lama meninggalkannya. Alhasil kontribusinya terhadap PDB rendah, hanya di kisaran 5 persen.

Sebagai pembanding, kontribusi PDB nasional berdasar sektor usaha didominasi oleh lima sektor berikut. Industri pengolahan menyumbang 19,25 persen (BPS, 2021). Sektor pertanian bertengger di peringkat kedua dengan kontribusi mencapai 13,28 persen. Lalu perdagangan besar dan eceran di angka 12,97 persen. Konstruksi dan pertambangan masing-masing menyumbang 10,44 persen dan 8,98 persen.

Dari lima sektor utama yang diselenggarakan koperasi, hanya sektor pertanian dan perdagangan yang masuk lima sektor unggulan nasional. Adapun sektor jasa keuangan serta jasa lainnya, tak masuk lima besar. Artinya dari sisi pilihan sektor usaha, boleh jadi koperasi telah keliru sejak awal. Sehingga nilai tambah yang dihasilkannya cenderung rendah.

Aksentuasi Perusahaan

Mengapa sektor jasa menjadi favorit koperasi karena dianggap mudah. Sebut misalnya jasa keuangan, seperti koperasi simpan-pinjam, dapat diusahakan secara sirkuler melalui anggota yang ada. Bahkan layanan bisa dimulai dari rumah dan tak perlu sewa kantor.

Sektor jasa lainnya juga demikian. Anggaplah koperasi jenis pemasaran atau jasa yang mendayagunakan tenaga anggota. Kedua sektor itu tak butuh modal besar. Bisa dimulai seketika setelah koperasi berdiri.

Hal itu juga menggambarkan bagaimana koperasi saat ini cenderung berorientasi ke dalam, yakni di kekuatan anggota. Kurang berorientasi ke luar, menangkap peluang yang ada di pasar. Saya menduga ada persoalan pemahaman koperasi yang bias people-based. Diktumnya, koperasi dimulai dari orang, sehingga hanya menyelenggarakan yang anggota mampu atau butuhkan saja.

Koperasi ibarat dua sisi mata uang, kumpulan orang (people-based) dan perusahaan (enterprise). Hemat saya, beberapa dekade mendatang kita perlu mengaksentuasi koperasi sebagai perusahaan. Yakni perusahaan yang dikelola profesional, menciptakan laba dan mengoptimalkan peluang yang ada. Tujuannya untuk mewujudkan, apa yang lama-lama telah menjadi klise, koperasi soko guru ekonomi.

Pilar Pengungkit

Bapak Koperasi, Moh. Hatta sudah memberikan arahan yang tegas, kerjakan sektor primer dan sekunder terlebih dulu, maka koperasi akan berjaya. Nampaknya orientasi itu masih relevan hingga sekarang. Dua sektor itu terbukti memiliki koefisien tumbuh yang tinggi.

Rumusan itu telah dibuktikan oleh Zennoh di Jepang (pertanian), IFFCO di India (pengolahan susu), iCOOP di Korea Selatan (pertanian dan pengolahan), Eroski (perdagangan ritel) di Spanyol, NTUC Fairprice di Singapore (perdagangan ritel), Mondragon di Spanyol (manufaktur) dan koperasi-koperasi kelas dunia lainnya. Mereka merajai dengan kontribusi PDB sangat signifikan.

Selaras dengan itu, PR kita sekarang adalah memperbesar koperasi sektor riil, khususnya di pertanian dan perdagangan. Dua sektor ini sudah biasa dikerjakan koperasi, tinggal diperbesar volumenya. Bila dua sektor itu naik menjadi 30 persen saja, maka akan mengungkit PDB koperasi.

Khusus sektor pertanian, afirmasi regulasi sudah cukup. Perpres No. 18 Tahun 2020 dan PP No. 7 Tahun 2021 telah mengatur tentang Korporasi Petani dan Nelayan (KPN) berbasis koperasi. Idealnya regulasi itu dapat mendobrak berbagai hambatan struktural yang ada di tengah ancaman krisis pangan dunia. Berbagai sumberdaya dapat dikerahkan, seperti penyediaan saprotan, alsintan, factory sharing serta dukungan pembiayaan yang relevan baik di hulu maupun hilir.

Pada sektor unggulan lain, seperti industri pengolahan, konstruksi dan pertambangan, ada beberapa barrier nyata bagi koperasi. Hambatan itu terletak pada kapasitas modal, keahlian dan teknologi. Dua yang terakhir dapat diintervensi melalui kerjasama operasional dengan perusahaan yang mumpuni.

Satu variabel lagi, modal, yang nampaknya menjadi masalah klasik di koperasi. Saat ini kita punya momentum bagus, yakni revisi UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Sekarang waktu yang tepat untuk mengelaborasi instrumen modal koperasi agar lebih akseleratif.

Data mencatat total modal sendiri koperasi sebesar 91,6 trilyun rupiah (2021). Bila dibagi rata dengan jumlah anggota sebanyak 27 juta, rata-rata kontribusi modal hanya 3 juta rupiah/ tahun di koperasinya masing-masing. Ironisnya, angka itu lebih rendah dari jajan harian anak, minimal 5 juta rupiah/ tahun. Itu terjadi bukan karena anggota tak punya uang, tapi instrumennya tak tepat,.

Hemat saya, instrumen seperti Sertifikat Modal Koperasi (SMK) yang pernah diatur pada UU No. 17 Tahun 2012, perlu diadopsi kembali. Instrumen ini bisa melengkapi Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib yang kurang memotivasi dan bahkan membatasi. Sebaliknya, dengan model SMK, anggota bakal terdorong berpartisipasi lebih.

Multipihak

Pengungkit lain yang bisa dielaborasi adalah model multi pihak, yang sudah diatur melalui Permen No. 8 Tahun 2021. Barrier di atas dapat disolusikan dengan mengolaborasi berbagai sumberdaya dari pihak-pihak yang relevan.

Keberadaan orang-orang dengan keahlian tertentu, seperti entrepreneur, investor dan lainnya, dapat menjadi pengungkit bisnis koperasi. Dalam skema multi pihak, mereka dapat diberikan hak dan kewajiban berbeda. Dengan cara ini koperasi menjadi lebih menarik dan dapat menyerap orang-orang kunci.

Bahkan di Amerika dan Eropa, anggota pada koperasi multi pihak tak dibatasi hanya individu, namun juga terbuka pada entitas/ badan hukum. Bayangkan begitu besar sumberdaya yang dapat diserap dan dikelola koperasi dengan pola seperti itu. Tentu kita perlu mengelaborasi kembali definisi keanggotan pada UU Perkoperasian mendatang.

Mengejar target PDB koperasi saya kira bukan semata PR Menteri Koperasi, tapi juga seluruh gerakan koperasi tanah air. Sebab, koperasi yang tumbuh bisnisnya akan memberi manfaat besar bagi anggota. Belum lagi ditambah dengan multiplier effect seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, terbukanya usaha pendukung dan lain sebagainya. Itu semua akan membuat manfaat koperasi menjadi kian massif. Dirgahayu Koperasi ke-75, 12 Juli 2022, jaya! []

Dimuat ulang dari: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/memacu-pertumbuhan-koperasi