Oleh: Firdaus Putra, HC.*
Saat ini saya rasakan betul bagaimana koperasi tak masuk dalam sains arus utama. Misalnya, pada mata kuliah corporate finance di perguruan tinggi, kasus yang dibedah adalah struktur keuangan di Perseroan Terbatas (PT). Bahkan bisa dikerucutkan lagi, PT terbuka.
Saya refleksikan, mengapa PT terbuka menjadi obyek kajian? Bukan perusahaan lain, PT tertutup atau koperasi. Alasannya sederhana dan mendasar, ketersediaan data. Laporan keuangan pada PT terbuka tersedia bagi publik. Berbeda dengan PT tertutup atau sebagian besar koperasi di Indonesia.
Pada domain yang lebih luas, kita bisa cek hasil riset atau jurnal di Google Scholar. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) hasilnya ada 3.100 entri pada tahun 2023. Kemudian sebagai pembanding, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ada 8.350 entri pada tahun yang sama. Riset atau kajian tentang LKM 2,5 kali lebih banyak daripada KSP.
Hal itu terlihat jomplang bila kita cek capaian mereka. Saat ini LKM jumlahnya 409 unit dengan total aset 1,52 trilyun rupiah (OJK, 2022). Bandingkan dengan KSP yang jumlahnya 18.699 unit dengan aset capai 124,67 trilyun rupiah (Kemenkop UKM, 2022). Dari jumlah, untuk menemukan KSP di sekitar kampus peluangnya lebih besar daripada LKM. Dari capaian, untuk mengukur kinerja, seperti keuangan, lebih potensial KSP daripada LKM.
Lalu mengapa kajian mengenai KSP lebih rendah daripada LKM? Apakah akademisi/ peneliti melihat tak ada lagi novelty pada KSP? Atau sebab lain, yang membuat “pasar pengetahuan koperasi” sangat sedikit permintaannya.
Logika Sains
Sains berkembang dengan dua jalan. Pertama deduksi, bagaimana menguji teori-teori umum pada realitas. Hipotesis digunakan, dengan dua kemungkinan, bersesuaian atau bertentangan dengan teori tersebut.
Jalan kedua adalah induksi. Bagaimana praktik-praktik yang ada diamati, ditelaah dan diteliti untuk kemudian rumuskan suatu premis tertentu. Hasilnya sangat memungkinkan ciptakan teori baru. Atau sekurang-kurangnya, suatu model.
Hasil dari deduksi atau induksi diumpan balik ke ruang-ruang pengajaran dalam bentuk teori atau studi kasus. Pada dua contoh di awal, pengajar menggunakan pendekatan deduksi dan memberi eksplanasi sesuai teori terkait corporate finance. Dari perspektif pengajar, yang mudah tentu menggunakan PT terbuka daripada koperasi. Data mereka tersedia dan dapat diases luas.
Pendekatan serupa juga dilakukan pada riset-riset yang ditemukan di Google Scholar, para peneliti sebagian besar menggunakan pendekatan deduktif. Hanya sebagian kecil yang induktif. Syaratnya sama, ketersediaan data dan informasi. Data dan informasi yang mudah diakses, peluangnya lebih besar digunakan dalam pengajaran dan penelitian, daripada sebaliknya.
Sains nyatanya berkembang dengan cara begitu, tergantung pada limitasi pengajar atau peneliti. Limitasi waktu untuk akses informasi atau limitasi sumberdaya untuk meneliti serta limitasi-limitasi lainnya. Sehingga upaya mengembangkan sains koperasi adalah bagaimana kita rumuskan upaya-upaya untuk retas limitasi tersebut.
Peran Ekosistem
Limitasi di atas sayangnya saling terkait, antara satu helix dengan helix lainnya. Model pentahelix dapat kita gunakan untuk rumuskan solusi yang relevan. Helix pertama, Academia, ruang di mana pengajaran, penelitian dan pengabdian dilakukan. Agar tak bergantung pada minat personal, kita butuh aksi afirmasi Pemerintah. Solusinya koperasi harus masuk dalam kurikulum pendidikan arus utama. Di sinilah peran utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai pengawal sistem pendidikan di republik ini.
Kedua, Business, dalam hal ini adalah entitas koperasi. Koperasi-koperasi dapat berperan dalam dua hal, menyediakan data dan dana. Koperasi perlu kooperatif dan terbuka ketika misalnya menjadi obyek riset tertentu. Di sisi lain, koperasi skala menengah dan besar, dapat menyediakan dana untuk riset atau produksi pengetahuan. Credit Union (CU) dan Kopsyah Benteng Mikro Indonesia adalah contoh baik. Mereka beberapa kali terbitkan buku yang memperkaya khazanah perkoperasian kita.
Community, di Indonesia ada beberapa komunitas epistemik yang concern pada koperasi. Ada Asosiasi Dosen dan Peneliti Koperasi (ADOPKOP), Asosiasi Dosen Ekonomi Koperasi dan Keuangan Mikro Indonesia (ADEKKMI), Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) dan lainnya. Dengan ketangkasannya, komunitas epistemik ini dapat dorong aneka kolaborasi yang lampaui birokrasi intra dan inter-institusi.
Keempat, Government. Tentu yang pertama dan utama adalah Kementerian Koperasi dan UKM. Langkah awal yang perlu adalah membangun sistem open data perkoperasian. Sebagai pembanding, tiap bulan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) rilis daftar LKM pada Direktori Industri Keuangan Non Bank (IKNB) pada website mereka. Dokumen disediakan dalam bentuk excel yang memuat nama-nama LKM, status izin, wilayah dan nomor telp kantor. Belum lagi statistik umum kinerja masing-masing industri. Bagi peneliti, itu sangat membantu. Data sejenis sayangnya belum tersedia cukup komprehensif pada pada website Kemenkop UKM.
Selain data, beberapa hal lain cenderung sudah tersedia. Hibah penelitian banyak disediakan baik melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau Kemendikbud. Lalu juga ada platform kolaborasi riset dan pengembangan melalui Kedai Reka. Sehingga open data perkoperasian akan menjadi faktor pengungkit di antara faktor lain: dana hibah dan platform kolaborasi.
Terakhir, Media. Ada beberapa kanal yang tersedia. Pertama, beragam portal jurnal ilmiah yang sebagian tersedia cuma-cuma. Kedua, buku-buku yang dapat menjadi acuan. Ketiga, media massa. Pada kedua dan ketiga, cenderung minor. Yang kedua membutuhkan kerja keras untuk menulis suatu buku dengan topik tertentu. Yang ketiga sesungguhnya lebih mudah, bagaimana akademisi mengartikulasi topik/ isu yang relevan ke khalayak.
Peran intelektual publik para akademisi perlu ditingkatkan untuk memantik dan merangsang diskursus yang dapat diikuti khalayak umum. Sehingga sains tak bersirkulasi pada ruang konferensi dan jurnal ilmiah belaka. Namun juga dapat diikuti oleh koperasi, Pemerintah, komunitas dan masyarakat pada umumnya.
Mengapa Perlu
Pertanyaannya, mengapa perlu mengembangkan sains koperasi? Secara normatif, visi ekonomi konstitusi Indonesia masih posisikan koperasi sebagai soko guru ekonomi. Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”. Prof. Dr. Maria Farida (2019), mantan Hakim Konstitusi, menilai penjelasan pasal itu, “…..Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”, tetap berlaku. Katanya sejauh ayat tidak alami perubahan, maknanya tetap merujuk ke penjelasan pra-amandemen.
Klaim normatif di atas didukung dengan fakta sosiologis kontribusi koperasi. Di mana rumah tangga Indonesia ternyata sangat bergantung pada koperasi (simpan-pinjam). Data Survai Sosial Ekonomi Nasional (2021) menemukan sebanyak 4,25% rumah tangga mengakses kredit di koperasi. Sedangkan kredit di bank umum selain KUR sebanyak 4,95%. Lembaga keuangan lain yang diakses seperti leasing sebesar 2,35%, BPR 1,17% dan pegadaian 0,86%. Data itu menunjukkan kontribusi signifikan koperasi bagi inklusi keuangan di tanah air.
Pada sisi lain, Pemerintah butuhkan riset-riset terkini guna perumusan kebijakan berbasis evidence-based policy. Kualitas luaran kebijakan sangat bergantung dari kualitas masukan. Yang secara langsung akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan koperasi di Indonesia. Termasuk sediaan SDM-SDM unggul perkoperasian. Di sinilah menjadi relevan untuk menyoal kurikulum pendidikan.
Momentum Imperasi
Ada satu momentum bagus di mana sekarang UU No. 25 Tahun 1992 akan direvisi. Agenda pengembangan sains koperasi perlu menjadi perhatian semua pihak. Satu hal yang penting adalah bagaimana mengintegrasikan koperasi dalam kurikulum pendidikan nasional. Undang-undang perkoperasian mendatang harus memberi perintah tegas kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pengembangan sains koperasi merupakan bagian amanat UUD 1945, yang karenanya harus masuk dalam sains arus utama.
Imperasi tersebut akan menjadi pengungkit besar bagi pengembangan sains koperasi di Indonesia. Akan memutus dilema “pasar pengetahuan” di atas, supply-demand pengetahuan perkoperasian. Negara (baca: Pemerintah) berperan menjaga supply pengetahuan melalui aparatus-aparatusnya. Meminjam bahasa Louis Pierre Althusser, filsuf dan sosiolog besar Perancis, ideologi negara dijaga dan dikembangkan lewat banyak cara, salah satunya melalui institusi pendidikan sebagai ideological state apparatus/ ISA.
Sejauh ideologi ekonomi Indonesia belum berubah, imperasi melalui UU Perkoperasian mendatang adalah perlu, bahkan harus. Di sinilah para legislatur di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mendukungnya. []
Penulis adalah Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI)
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2023/11/01/125958326/pengembangan-sains-koperasi-perlu-imperatif-dalam-ruu-perkoperasian
Post a comment