Dodi Faedlulloh*
Sebelum akhirnya diputuskan ditunda, rencana Pemerintah terkait kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai banyak kritik. Terlepas dari proses ideasi kebijakan yang rendah partsipasi (meaningful participation), secara substansi kebijakan tersebut bermasalah karena mengharuskan seluruh masyarakat dipotong pendapatannya. Bahkan, secara empiris, model pungutan otomatis yang sudah berjalan justru banyak salah kelola alih-alih ciptakan solusi.
Perumahan memang isu yang krusial dan perlu mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Anak-anak muda kita terancam tidak memiliki rumah. Riset Populix menemukan bahwa 61 persen anak muda Indonesia sulit untuk membeli rumah (2023). Harga sewa yang meroket, gentrifikasi, dan kelangkaan perumahan dengan harga terjangkau, perlu dicari solusi secepatnya. Boleh jadi Tapera solusi yang tepat, boleh jadi bukan. Kita perlu untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan alternatif yang ada.
Kita perlu menggeser paradigma tradisional yang menempatkan perumahan sebagai komoditas yang penuh spekulasi. Perlu suatu upaya dekomodiifikasi yang memberdayakan warga untuk mengendalikan situasi terhadap hak atas tempat tinggal. Bahwa, perumahan bukan semata komoditas yang dibangun untuk mengejar keuntungan semata, tapi hak bagi warga untuk memiliki hunian yang layak dan terjangkau.
Variasi Model
Salah satu alternatif yang menjanjikan adalah model koperasi perumahan. Di Indonesia model ini masih sangat minim, baru ada 275 unit (ODS Kemenkop UKM, 2024). Meski demikian layanan pengadaan perumahan sering kali disediakan oleh koperasi seperti koperasi karyawan atau pegawai melalui skema KPR dan sejenisnya. Artinya bicara koperasi perumahan di Indonesia bukan hal baru sama sekali dan karenanya sangat mungkin model dan praktiknya diperluas.
Di negara lain, koperasi perumahan terbukti berkontribusi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di India dan Pakistan, hubungan antara self help groups dan koperasi perumahan telah dimanfaatkan untuk menyediakan tempat tinggal dan kesempatan kerja bagi masyarakat miskin (Sapovadia, 2007). Kemudian, terdapat manfaat biaya dari perumahan koperasi yang berkelanjutan, khususnya dalam hal efisiensi dan energi (Coimbra, 2013). Koperasi perumahan biasanya menerapkan praktik ramah lingkungan dan berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan. Hal ini dapat mencakup desain bangunan hemat energi, ruang hijau bersama, dan pengelolaan sumber daya berkelanjutan.
Secara konseptual, koperasi perumahan merupakan organisasi kolektif yang mana para anggotanya bersama-sama memiliki dan mengelola properti tempat tinggal. Berbeda dengan kepemilikan rumah tradisional, di mana individu menanggung seluruh beban biaya property. Anggota koperasi berbagi biaya, tanggung jawab pemeliharaan, dan pengambilan keputusan secara demokratis. Model ini tidak hanya menjadikan perumahan lebih terjangkau tetapi juga memupuk dan menumbuhkan modal sosial di antara anggota.
Belajar dari pengalaman beberapa negara, model koperasi perumahan tidak tunggal. Berdasarkan bentuk kepemilikan, penggunaan, pendanaan, ada beberapa model di antaranya model non profit rental yang umum dipraktikkan di Jerman, Swiss, dan Kanada. Dengan biaya sewa sekitar 30-35% dari pendapatan anggota, memastikan bahwa perumahan tetap terjangkau oleh masyarakat. Model ini memungkinkan adanya komunitas yang beragam, dengan anggota dari tingkat pendapatan berbeda yang tinggal bersama, mendorong kohesi dan integrasi sosial.
Model yang lain adalah ownership yang menawarkan keunggulan kepemilikan properti oleh anggota dan nilai properti dapat mengikuti harga pasar. Model ini umum dan dipraktikkan secara luas di di Swedia dan Norwegia yang menunjukkan efektivitasnya. Model ownership ini cenderung mirip seperti yang berkembang di Indonesia baik yang difasilitasi oleh koperasi perumahan atau koperasi (karyawan/ pegawai) yang mengadakan perumahan bagi anggotanya.
Selain itu ada model limited equity yang dirancang untuk menjaga harga dan pilihan perumahan tetap terkendali bagi masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah. Model ini umum di dipraktikkan di Amerika dengan nilai ekuitas dikendalikan oleh koperasi. Model ini diproyeksi dapat mengatasi gentrifikasi di wilayah perkotaan dengan menyediakan pilihan perumahan terjangkau yang dirancang agar tetap terjangkau dari generasi ke generasi, sehingga mencegah perpindahan penduduk dalam jangka panjang.
Belajar dari Uruguay dan di Amerika Tengah dan Selatan terdapat model mutual aid, yang menumbuhkan rasa kebersamaan yang kuat dan saling mendukung di antara anggota serta mendorong kolaborasi dan tanggung jawab bersama. Model ini sangat berguna di komunitas kecil di mana efisiensi biaya sangat penting untuk menjaga keberlanjutan finansial. Tujuannya bagaimana menyediakan perumahan yang layak bagi anggota komunitas yang terbatas secara sosial-ekonomi.
Selain itu, terdapat model mutual home ownership yang memberikan manfaat pengelolaan demokratis oleh anggota. Model ini dapat memfasilitasi kolaborasi antara entitas publik, organisasi nirlaba, dan pengembang swasta, sehingga menciptakan peluang untuk pembiayaan inovatif dan proyek pembangunan berbasis komunitas.
Terakhir, untuk keperluan hunian temporer terdapat model koperasi perumahan right of use. Properti dimiliki oleh koperasi dan anggota mempunyai hak untuk menempati suatu unit tertentu berdasarkan kesepakatan bersama namun tidak memegang kepemilikan eksklusif. Praktik ini umum dijalankan di Spanyol dan Autralia.
Berbagai model koperasi perumahan ini menawarkan solusi berbeda sesuai dengan kebutuhan dan konteks sosial-ekonomi masing-masing negara. Pemilihan model yang tepat tergantung pada faktor-faktor seperti dukungan pemerintah, kondisi pasar properti, dan kebutuhan spesifik masyarakat serta tingkat sosial-ekonomi anggota.
Rekognisi Kebijakan
Ada praktik baik yang telah berjalan meski dengan berbagai tantangan, yaitu Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) yang membangun perumahan kolektif melalui koperasi bagi warga korban gusuran di Jakarta (2022). Pendekatan JRMK menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dan tindakan kolektif dalam mengatasi krisis perumahan. Hal ini juga menunjukkan bagaimana gerakan akar rumput dapat secara efektif memobilisasi sumber daya dan dukungan bagi komunitas yang terpinggirkan.
Salah satu kunci dari pembangunan perumahan kolektif adalah kepemilikan tanah bersama, bukan individu per individu. Model ini membantu menjamin keamanan perumahan jangka panjang bagi penduduk dengan mencegah fragmentasi kepemilikan dan potensi perpindahan yang didorong oleh pasar. Selain itu, kepemilikan kolektif menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab bersama di antara warga. Hal ini mendorong kerja sama dan saling mendukung, yang sangat penting untuk keberlanjutan dan pemeliharaan proyek perumahan. Skema kepemilikan bersama semacam itu paralel dengan model mutual home ownership.
Meski advokasi JRMK berhasil, salah satu tantangan yang mereka hadapi adalah terkait regulasi. Aturan seringkali jadi kendala dalam setiap upaya inovasi dan transformasi koperasi di Indonesia. Para pegiat koperasi seringkali melakukan advokasi berkali lipat agar bisa mendobrak kerangka regulasi tradisional. Yakni bagaimana melakukan penyesuaian terkait status kepemilikan lahan/ tanah agar di bawah badan hukum koperasi.
Studi terbaru memberikan beberapa analisis penting (Czischke, 2018; Lang et al., 2020), bagaimana rekognisi kebijakan berimplikasi mendorong permintaan sosial dan inovasi dalam solusi perumahan. Perumahan berbasis komunitas menawarkan solusi inovatif yang menjawab kebutuhan spesifik masyarakat, khususnya kelompok marginal dan berpendapatan rendah. Artinya melampaui telur (kebijakan/ regulasi) – ayam (praktik/ implementasi), kebijakan dan regulasi mendorong masyarakat menyobanya. Hal itu selaras dengan fungsi regulasi as social engineering.
Dengan mendukung koperasi perumahan, pemerintah dapat mendorong pembangunan yang inklusif dan adil. Pada gilirannya hal itu dapat menghasilkan masyarakat yang lebih tangguh dan kohesif. Model koperasi ini berkontribusi terhadap keadilan sosial dengan memberikan akses yang adil terhadap perumahan, memungkinkan penduduk untuk tetap berada di komunitasnya dan membangun kehidupan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
Bila koperasi perumahan ini menjadi kebijakan, implementasi tentu memang tak semudah Tapera dengan skema pemotongan otomatis. Butuh suatu literasi umum dan proyek percontohan untuk membiasakan masyarakat dengan model tersebut. Meski tidak mudah, namun manfaat jangka panjangnya bisa menjadi dasar bagi Pemerintah untuk mengadopsinya. Secara jangka panjang perumahan tak lagi dipandang sebagai komoditas di ruang bisnis, namun kebutuhan mendasar manusia di ruang ekonomi.
Studi di berbagai negara memperlihatkan koperasi perumahan tidak rentan terhadap gejolak pasar dan menyediakan perumahan yang stabil bagi masyarakat. Bahkan tak hanya itu, model koperasi perumahan yang berkelanjutan juga memantik perluasan inisiatif berbasis masyarakat lainnya. Pada ujungnya, aneka inisiatif masyarakat di berbagai sektor akan menjadi bahan bakar dalam pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih luas. []
*Dosen Ilmu Administrasi Publik, Universitas Lampung. Ketua II Indonesian Consortium for Cooperative Innovation
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2024/07/07/090504426/menimbang-koperasi-perumahan

Post a comment