Oleh: Firdaus Putra, HC. dan Endy Chandra
Menteri Koperasi, Budi Arie, mengatakan ada tiga hal yang akan dilakukannya selama memimpin. Pertama adalah rebranding, yakni bagaimana meningkatkan citra koperasi agar lebih baik agar kesertaan masyarakat berkoperasi meningkat dan khususnya generasi muda. Kedua digitalisasi, yakni bagaimana mendorong koperasi mengadopsi teknologi digital dalam usahanya. Ketiga adalah implementasi tata kelola yang baik. Tentu saja agar koperasi lebih kredibel dan terpercaya.
Kolom ini hanya akan mengulas ihwal digitalisasi koperasi, yang nampaknya menjadi concern besar Menteri. Hal itu terlihat misalnya pada struktur organisasi Kementerian Koperasi yang baru dengan adanya Deputi Kelembagaan dan Digitalisasi Koperasi.
Semangat itu dapat dipahami boleh jadi karena yang bersangkutan pernah memimpin Kementerian Komunikasi dan Informasi. Sehingga melihat bukti nyata bagaimana teknologi digital efektif tingkatkan kinerja suatu organisasi/ perusahaan. Di koperasi sendiri adopsi teknologi digital telah berlangsung lama dan panjang, sudah sejak 15-20 tahun lalu.
Adopsi teknologi internet pada koperasi selaras dengan perkembangan layanan internet banking dan e-commerce pada awal tahun 2000-an. Tahun itu juga menandai suatu era yang dikenal dengan bisnis dotcom, yang mirip dengan saat ini, startup digital. Tak mengherankan, sebab internet sudah mulai digunakan oleh masyarakat, meski masih terbatas. APJII mencatat ada 1,9 juta pengguna internet saat itu. Gairah yang sama juga terjadi di pemerintahan dengan dimulainya inisiatif awal implementasi e-government sejak tahun 2001.
Tahapan
Di koperasi tahapan itu dimulai dari fase awal komputerisasi sekitar tahun 1995-an. Di mana koperasi mulai mengelola usahanya berbasis komputer. Artinya koperasi menggunakan Sistem Informasi Manajemen (SIM) dalam bentuk software komputer tertentu yang bersifat offline. Tahap itu didukung dengan tumbuhnya software house lokal yang menawarkan software dengan fitur-fitur yang dapat disesuaikan (custom).
Tahap berikutnya yakni komputerisasi berbasis internet, yakni rentang tahun 2000-2014. Di mana pengelolaan usaha serta layanan koperasi diselenggarakan melalui sistem informasi dan komunikasi yang berbasis internet. Tahap ini merupakan tahap lanjutan dari yang pertama, di mana software tersebut dapat diakses dengan internet. Bentuknya berupa aplikasi yang dapat diakses dari situs internet tertentu.
Pada tahap itu, para penanggungjawab koperasi seperti Pengurus dan Pengelola dapat mengelola data dan lalu lintas transaksi secara realtime dan online. Software sudah mengintegrasikan beberapa lini mulai dari kasir sampai ke bagian keuangan, pergudangan dan sebagainya. Dengan integrasi tersebut, suatu transaksi secara otomatis dapat langsung teradministrasi sampai ke jurnal dan menghasilkan laporan keuangan.
Tahap ketiga adalah penggunaan teknologi digital atau digitalisasi yang dimulai rentang tahun 2015 hingga sekarang. Tahap ini cukup krusial, sebab kehadiran teknologi digital telah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi koperasi. Layanan koperasi dengan anggota menjadi lebih mudah dan cepat. Pada titik ini layanan dan transaksi masih bersifat close loop di antara koperasi dan anggota.
Dari tahap kedua sampai tahap ketiga butuh waktu cukup panjang. Akses internet menjadi salah satu sebabnya mulai dari harga, infrastruktur dan seterusnya. Internet berkembang hanya di kota-kota besar atau digunakan oleh kalangan tertentu seperti pendidikan, perbankan dan sebagainya.
Lalu terjadi lompatan di mana digitalisasi masuk tahap transformasi digital, sekitar tahun 2018. Tahap ini didukung dengan massifnya penggunaan ponsel pintar berikut ekosistem penyedia layanan dari banyak perusahaan startup. Pada tahap ini transaksi tak hanya terjadi secara close loop antara koperasi dengan anggota, dengan teknologi digital koperasi bisa memediasi transaksi ke pihak lain. Misalnya yang paling sering digunakan adalah layanan pembayaran, transfer dana, layanan Payment Point Online Banking (PPOB) dan sebagainya.
Berbagai layanan tersebut terjadi melalui aplikasi dan antarmuka (user interface) yang sama. Di mana di belakang layar (back end) terjadi suatu proses interkoneksi dan interoperabilitas antarbeberapa lembaga penyelenggara. Meski demikian anggota dapat mengakses transaksi hanya dalam hitungan detik atau menit.
Beberapa koperasi skala besar mengembangkan infrastruktur teknologi di atas secara mandiri. Beberapa koperasi skala menengah, kecil dan bahkan mikro memilih bekerjasama dengan penyedia solusi teknologi (tech provider). Pada pola kerjasama, koperasi tidak dituntut memiliki SDM dengan kompetensi IT. Koperasi sebagai pengguna teknologi cukup melanggan suatu core system tertentu.
Tech provider biasanya menyediakan core system sebagai SIM utama yang dikendalikan oleh Pengurus dan jajaran manajemen. Pada sisi lain, anggota dibekali dengan mobile apps tertentu, semacam aplikasi mobile banking. Lewat aplikasi itu anggota bisa melihat status keuangan mereka serta dapat melakukan aneka transaksi dengan koperasi atau pihak lain.
Tantangan
Kemudahan teknologi di atas sesungguhnya hadir melalui campur tangan banyak pihak. Pertama tech provider sebagai penyedia solusi teknologi dalam bentuk aplikasi/ software tertentu. Kedua Perusahaan Jasa Pembayaran (PJP) izin 1, 2 atau 3 yang meneruskan suatu transaksi keuangan. Ketiga para penyedia layanan, yang menyediakan aneka layanan/ produk digital. Keempat perbankan, yang berperan sebagai intermediari juga.
Pada sisi regulator ada Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Digital. Masing-masing otoritas tersebut berperan dalam memberi izin dan mengawasi sektor masing-masing. Lalu tentu saja ada Kementerian Koperasi, selaku regulator perkoperasian.
Contohnya, Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran mengatur bahwa perusahaan yang terlibat dalam meneruskan suatu transaksi (intermediari) harus mengajukan izin PJP sesuai tingkatannya. Dalam konteks itu, koperasi tergolong dalam salah satu pihak yang berperan sebagai intermediari. Artinya, koperasi-koperasi harus memiliki izin dari Bank Indonesia atau bekerjasama dengan lembaga yang memiliki izin.
Ilustrasinya, anggota melakukan transaksi menggunakan mobile coop untuk membeli pulsa. Maka alur transaksinya adalah anggota melalukan debit dari Rekening Tabungan ke Rekening Ponsel pada mobile coop. Setelah itu saldo pada rekening ponsel ditransaksikan untuk membeli pulsa yang disediakan oleh perusahaan penyedia layanan. Semua transaksi itu dijahit bersama oleh tech provider melalui mobile coop pada satu antarmuka.
Perkembangan teknologi membuatnya makin mudah dan murah. Apa-apa yang tidak dapat diselenggarakan sendiri, dapat bekerjasama dengan tech provider. Dengan cara begitu koperasi skala mikro dan kecil dapat mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan layanan mereka kepada anggota. Namun perizinan seperti di atas dapat menjadi salah satu tantangan nyata khususnya bagi skala mikro dan kecil.
Regulasi
Permen No. 8 Tahun 2023 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi mengatur “KSP/KSPPS atau USP/USPPS Koperasi dapat melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam secara digital financial service”. Pasal 46 tersebut memberi rekognisi terkait layanan “digital financial service”. Meskipun tidak ada penjelasan lebih lanjut bagaimana digital financial service tersebut diselenggarakan, bagaimana perizinannya atau secara umum apa saja do and don’t yang harus dilakukan.
Untuk itu nampaknya dalam agenda digitalisasi koperasi, Menteri perlu mengupayakan agar bagaimana teknologi yang makin mudah dan murah, dapat diakses oleh koperasi skala mikro dan kecil. Mereka perlu diberi kemudahan serta pelindungan, misalnya, Kementerian Koperasi melakukan pengawasan terhadap digital financial service pada koperasi skala mikr dan kecil. Sedangkan koperasi skala menengah dan besar, langsung diawasi oleh Bank Indonesia.
Untuk itu, Kementerian Koperasi dan Bank Indonesia bisa jadi perlu membuat Surat Keputusan Bersama (SKB). Pada sisi lain, Menteri Koperasi perlu juga membuat regulasi untuk mengatur bagaimana transformasi digital serta digital financial service diselenggarakan di lingkungan koperasi secara close loop, yakni antaranggota dan antarkoperasi.
Relevansi
Saat ini sekitar 62 persen volume usaha koperasi Indonesia berasal dari dan dengan konsentrasi anggota mencapai 65 persen pada usaha simpan pinjam (2023). Agenda digitalisasi koperasi yang diusung Menteri Koperasi sangat relevan untuk sektor tersebut. Meskipun sektor riil tak kalah penting misalnya dalam pemanfaatan Enterprise Resource Planning (ERP), Point of Sales (PoS) dan sebagainya. Namun khusus simpan pinjam, seperti ulasan di atas, memiliki kaitan dengan banyak regulator lain.
Riset Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (2024) menemukan hanya 4 dari 10 koperasi yang ramah anak muda. Menurut responden, tingkat engagement dapat ditingkatkan misalnya melalui layanan berbasis digital yang memudahkan mereka. Hal itu relevan dengan memperhatikan riset sebelumnya (ICCI, 2022), di mana anggota koperasi yang tergolong Generasi Z hanya 6,01 persen. Angkanya sangat rendah dibanding Generasi Y (37,87 persen) dan Generasi X (46,04 persen) dan sisanya adalah Generasi Baby Boomer (N= 614 koperasi).
Dengan cara begitu sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Di mana digitalisasi koperasi dapat meningkatkan rebranding dan engagement generasi muda pada koperasi. Di sisi lain meningkatkan akuntabilitas tata kelola Pengurus dalam mengendalikan koperasinya masing-masing. Boleh jadi di situlah alasan mengapa Menteri menyatukan antara fungsi kelembagaan dan digitalisasi pada satu kedeputian. []
Penulis:
Firdaus Putra, HC. adalah Ketua Indonesian Consortium for Cooperative Innovation dan Endy Chandra adalah Direktur PT. Sakti Kinerja Kolaborasindo (penyedia solusi teknologi konsorsium koperasi)
Sebelumnya sudah dimuat di Kompas.com dengan judul yang sama, klik di sini.
Post a comment