April 8, 2025

Artikel ini mengupas tiga hal:

  • Lima Tantangan: skala ekonomi, kapasitas SDM, potensi elite capture, potensi fraudulent, dan keberlanjutan.
  • Tiga Skenario: skenario optimis, moderat dan pesimis.
  • Enam Mitigasi: peta jalan, fokus usaha, konsolidasi dengan sekunder, intervensi berbasis asesmen, kolaborasi dan pengawasan.

Oleh: Firdaus Putra, HC.*

Dari 70 ribu yang ditargetkan terbentuk pada 12 Juli mendatang, sekarang Koperasi Desa Merah Putih atau Kopdes, ditingkatkan menjadi 80 ribu menurut Menteri Koperasi pada 22 Maret 2025. Dengan dukungan anggaran masing-masing 3-5 miliar rupiah, paling tidak dibutuhkan anggaran sebesar Rp. 240-400 triliun. Boleh jadi ini akan menjadi proyek pembangunan koperasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Satu sisi hal itu menunjukkan komitmen besar Presiden dan Pemerintah. Pada sisi lain, bila mana gagal, sikap over sympathy itu dapat menjadi bumerang yang runtuhkan citra koperasi. Kopdes direncanakan mengelola beberapa usaha seperti agribisnis, konsumsi, kesehatan, logistik dan lainnya. Artikel ini akan mengeksplorasi prospek pengembangan Kopdes lima tahun mendatang dengan melihat peluang, risiko serta strategi mitigasinya.

Siklus Hidup

Dari perspektif koperasi, pembangunan Kopdes bekerja di luar pakem ideal. Koperasi didefinisi sebagai swadaya kelompok orang untuk tingkatkan kesejahteraan. Cook (2018) menggambarkan dalam cooperative life cycle, bahwa pembentukan suatu koperasi biasanya dimulai dari economic justification. Berangkat dari kegelisahan para pendiri yang merasa perlu menyelesaikan masalah mereka secara kolektif, misalnya dalam konteks pasokan, produksi, pengolahan atau pemasaran. Dengan pertimbangan koperasi akan meningkatkan efisiensi atau posisi tawar di pasar, mereka kemudian memilih koperasi dari pada bentuk perusahaan lainnya.

Logika itu yang membuat koperasi idealnya tumbuh dan berkembang secara bottom up sebagai wahana swabantu diri (self-help). Koperasi dikembangkan untuk menjawab kebutuhan dan aspirasi anggota sesuai dengan usahanya. Dengan penuh kesadaran anggota mengambil tanggungjawab dengan partisipasi ekonomi, baik kontribusi modal maupun transaksi usaha. Hal itu yang membuat koperasi secara inheren beroperasi sebagai perusahaan berbasis anggota (member is owner and user).

Dalam Kopdes, justifikasi ekonomi tersebut berasal dari Pemerintah. Sekurang-kurangnya ada tiga hal, kata Menteri Koperasi; mengatasi kemiskinan ekstrim, menumbuhkan ekonomi desa serta memberantas jeratan tengkulak, rentenir dan pinjaman online (pinjol). Justifikasi ekonomi tersebut boleh jadi relevan, sebab tiga hal itu terjadi dan dirasakan oleh masyarakat desa. Muaranya bagaimana Kopdes dinilai solutif sebagai mesin penggerak ekonomi desa. Dampak turunannya Kopdes memungkinkan memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan para petani serta pelaku usaha lainnya.

Tahap berikutnya, masih menurut Cook (2018), adalah organizational design. Di mana para pendiri mendesain organisasi koperasi sesuai dengan kebutuhannya. Beberapa hal yang dirumuskan dalam tahap ini terkait dengan keanggotaan, kontribusi modal, model bisnis, pembagian hasil (dividen), klaim terhadap aset residual dan ketentuan lainnya. Tahap ini menggambarkan bagaimana para pendiri merancang, membangun dan menyesuaikan berbagai ketentuan sesuai dengan konteks, kebutuhan serta tantangan dan kendala yang ada.

SE No. 1 Tahun 2025 yang diterbitkan Kementerian Koperasi menyatakan bahwa Kopdes dibentuk melalui Musyawarah Desa dengan peserta Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan masyarakat setempat. Lebih lanjut, dalam SE juga diatur bahwa Kepala Desa bertindak sebagai Ketua Pengawas (ex officio) dalam Kopdes. Sebagai petunjuk pelaksanaan, SE tersebut akan dipedomani oleh Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia. Artinya secara umum desain organisasi Kopdes akan seragam atau homogen.

Berbeda dengan itu, koperasi yang tumbuh secara bottom up biasanya memiliki corak organisasi yang variatif. Hal itu karena masing-masing kelompok masyarakat berangkat dari isu serta tantangan berbeda. Desain organisasi merupakan perwujudan dari cara pandang dan upaya bagaimana mereka akan membangun solusi kolektif melalui perusahaan bersama itu.

Lima Tantangan

Tahapan berikutnya adalah tahap operasional, yang oleh Cook (2018) sebut sebagai tahap pertumbuhan (growth), kejayaan (glory) serta tantangan keragaman aspirasi dan kebutuhan anggota (heterogenity). Berangkat dari pendekatan top down di atas, saya melihat ada beberapa tantangan yang akan dihadapi Kopdes dalam fase ini. Tantangan itu yakni masalah skala ekonomi, kapasitas sumber daya manusia (SDM), potensi penguasaan oleh elit lokal (elite capture), potensi penyalahgunaan dana (fraudulent), dan keberlanjutan jangka panjang. Pertanyaannya, mampukah Kopdes mengatasi tantangan ini dalam lima tahun ke depan?

Pertama, skala ekonomi menjadi isu krusial. Operasi pada level desa sering kali terbatas pada sumber daya serta pasar. Kopdes yang mengusahakan layanan agribisnis berorientasi pada pengolahan komoditas, akan menghadapi tantangan pasokan bahan baku. Di mana masing-masing desa, yang bertetangga, akan mengutamakan pasokan bagi Kopdes mereka.

Hal yang sama juga terjadi pada sisi pasar, di mana jangkauan pasar menjadi sangat terbatas. Kopdes yang mengusahakan layanan konsumsi akan berkompetisi dengan toko milik masyarakat serta Kopdes lain di sekitarnya. Bila diandaikan Kopdes kuat dan menang, hal itu sama dengan menggerus potensi omset toko masyarakat. Agar tidak terjadi, Kopdes akan cenderung beroperasi dalam kapasitas terkendali (baca: terbatas).

Kedua, kapasitas SDM menjadi faktor penentu. Pengelolaan dana Rp. 3–5 miliar membutuhkan kecakapan manajemen keuangan, bisnis, operasional dan pemasaran yang tidak selalu dimiliki tiap desa. Pengalaman BUMDes menunjukkan bahwa salah satu tantangan utama mereka adalah menemukan pengelola dari warga lokal yang benar-benar piawai.

Melekat dalam kapasitas SDM adalah isu tata kelola. Dipahami bahwa tata kelola mewujud dalam SDM, bukan suatu hal yang terpisah. Tata kelola ibarat software, yang dioperasionalkan oleh para SDM. Minimnya SDM dapat mengurangi kualitas tata kelola organisasi Kopdes. Ditambah koperasi sebagai perusahaan bersama yang memiliki karakter khas dari pada perusahaan individu atau keluarga (family business).

Ketiga, elite capture atau penguasaan oleh elit lokal dapat menjadi bottle neck. Di desa-desa dengan tata kelola lemah, tokoh berpengaruh bisa menyalahgunakan wewenang untuk mengendalikan koperasi demi kepentingan pribadi. Hal yang sama sering terjadi pada program hibah Kementerian/ Lembaga atau swasta, di mana orang-orang kunci mendominasi serta memanfaatkan sumber daya itu untuk kepentingannya.

Elite capture dapat mengurangi manfaat nyata yang diterima anggota sebab sebagiannya telah “dikunci” oleh individu tertentu. Dalam suatu kasus, misalnya, suatu bantuan sarana pra sarana dimanfaatkan hanya oleh segelintir individu. Sedangkan anggota lain tak tahu menahu dan tak peroleh manfaat dari sarana pra sarana itu.

Keempat, risiko kecurangan (fraudulent) akan meningkat seiring besarnya dana yang digelontorkan. Laporan fiktif, markup proposal, proyek hantu, atau tindakan korupsi dapat terjadi di semua level, mulai dari level atas sampai level terbawah. Misalnya, banyak kasus Kepala Desa yang menyalahgunakan Dana Desa untuk kepentingan pribadi. Hal yang sama dapat terjadi misalnya oleh Pengurus Kopdes.

Pada sisi lain, di mana tata kelola belum matang, anggota belum teredukasi tentang hak-kewajibannya, membuat sense of belongingness rendah. Alhasil mereka abai untuk mengawasi secara seksama bagaimana anggaran diinvestasikan, dibelanjakan, dan dioperasionalkan.

Terakhir, keberlanjutan menjadi isu besar. Dana awal Rp. 3–5 miliar mungkin cukup untuk memulai, tetapi tanpa model bisnis yang jelas, banyak Kopdes bisa kehabisan modal dalam lima tahun. Ketergantungan pada suntikan dana Pemerintah tanpa kemampuan menghasilkan profit akan membuat program ini rapuh.

Ditambah misalnya bila Kopdes membuka layanan Unit Simpan Pinjam (USP) yang bertujuan untuk mengurangi dampak pinjol, dapat meningkatkan potensi kredit macet di pedesaan. Sebabnya, profil pengguna pinjol beririsan dengan pelaku judi online (judol). Keduanya memiliki demografi sosial-ekonomi yang relatif sama, perilaku yang cenderung instan serta siklus finansial yang mirip.

Lima tantangan tersebut dapat menjadi ancaman nyata bagi Kopdes, yang alih-alih datangkan manfaat, justru dapat timbulkan masalah sistematis-massif, yakni tsunami ketakpercayaan terhadap koperasi. Tentu saja kita berharap yang terbaik, bagaimana pun anggaran Rp. 240-400 triliun (APBN langsung atau penjaminan) itu bersumber dari pajak yang kita bayar.

Tiga Skenario

Dengan analisis di atas, saya petakan tiga skenario yang mungkin terjadi. Yakni skenario optimis, moderat dan pesimis. Pertama, skenario optimis, di mana Kopdes benar-benar menjadi mesin pertumbuhan ekonomi desa. Dalam skenario ini saya andaikan sekitar 30–40% Kopdes (24.000–32.000 unit) berhasil menjadi entitas ekonomi yang mandiri dan produktif pada lima tahun mendatang.

Keberhasilan ini didorong oleh beberapa faktor kunci seperti pendampingan intensif dengan melatih Pengurus dan Pengelola Kopdes dalam tata kelola, manajemen bisnis, keuangan, dan sebagainya. Serta adanya pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan dana serta membangun kepercayaan masyarakat dan pihak ketiga. Pada tahun 2030 mendatang, Kopdes sukses dan tidak hanya menghasilkan profit, tetapi juga menciptakan efek domino: lapangan kerja bertambah, pendapatan per kapita desa naik, dan migrasi ke kota menurun.

Kedua, skenario moderat, di mana sekitar 50% Kopdes (40.000 unit) tetap beroperasi, tetapi dengan pertumbuhan terbatas. Karena keterbatasan SDM, banyak dari mereka fokus pada usaha sederhana seperti simpan pinjam atau toko koperasi, menghasilkan pendapatan cukup untuk bertahan namun tidak cukup untuk ekspansi besar. Hasilnya lima tahun mendatang Kopdes tetap hidup tapi tidak berkembang pesat. Sedangkan separohnya gagal total karena kehabisan dana atau manajemen yang buruk. Dalam skenario ini Kopdes tak cukup untuk mengubah lanskap ekonomi desa seperti yang dicitakan.

Ketiga, skenario pesimis. Dalam skenario terburuk, di mana lebih dari 70% Kopdes (56.000 unit atau lebih) gagal pada 2030. Hal itu akan meninggalkan jejak kerugian finansial serta kekecewaan sosial. Penyebab utamanya adalah kombinasi fatal dari tantangan yang tidak terkelola dengan baik. Mulai dari masalah skala, SDM, elite capture dan fraudulent, bersama-sama dapat membuat proyek ini gagal secara massif. Dalam skenario ini desa kembali pada kondisi semula, dengan sebagian bahkan lebih buruk karena utang yang ditinggalkan Kopdes. Kekecewaan masyarakat terjadi dan berujung pada antipati terhadap koperasi untuk dekade berikutnya.

Secara realistis prospek skenario di atas perlu dipertimbangkan Pemerintah, alih-alih berangkat dari asumsi over optimistic yang hanya berangkat dari niat baik belaka. Dengan memperkirakan skenario terburuk, Pemerintah dapat menyiapkan rencana mitigasi serta manajemen risiko yang lebih komprehensif. Studi Hu dkk (2017) pada proyek pembangunan koperasi pertanian oleh Pemerintah China dapat dijadikan refleksi. Pasca dua dekade berjalan, proyek ambisius itu tercatat hasilkan 110 ribu koperasi pertanian (2015).

Hu dkk (2017) secara acak meninjau langsung 50 koperasi, termasuk yang diklaim sukses oleh Pemerintah. Mereka menemukan hanya 4% saja yang tumbuh sebagai koperasi sejati (genuine cooperative). Yakni koperasi tersebut benar-benar memberi manfaat nyata serta anggota terlibat penuh dalam pengendaliannya. Sedangkan sebagian besar lainnya berubah menjadi koperasi cangkang, demutualisasi, disalahgunakan sebagai usaha perorangan dan tutup operasi.

Enam Strategi

Pemerintah perlu benar-benar serius menyusun strategi mitigasi agar Rp. 240-400 triliun APBN tidak sia-sia. Saya melihat ada beberapa strategi yang dapat diadopsi Pemerintah sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah perlu menyusun peta jalan (roadmap) pembangunan dan pengembangan Kopdes. Dimulai dari fase inkubasi, pertumbuhan serta kemandirian. Saat ini yang tersiar di berbagai paparan hanya lini masa (timeline) pembangunan Kopdes, namun kita belum peroleh gambaran besar bagaimana exit strategy dari program ini. Belajar dari program pembangunan KUD, dulu Pemerintah tetapkan tiga fase yakni ofisilisasi, deofisialisasi dan otonomi. Pola yang sama perlu dirumuskan oleh Pemerintah sehingga dapat diturunkan menjadi rencana aksi dan intervensi yang terukur.

Misalnya, pada fase inkubasi Pemerintah perlu fokus pada peningkatan kapasitas SDM, operasional serta pemasaran. Harus dipahami bahwa organisasi atau perusahaan tumbuh dari satu tahap ke tahap berikutnya. Adalah tidak bijaksana untuk memaksanakan berbagai program bantuan dan peningkatan kapasitas di tahap awal. Hal itu ibarat memberi makan nasi dan semangka kepada bayi. Alih-alih tumbuh, bayi bisa sakit dan mati.

Kedua, selaras dengan roadmap di atas, Kopdes pada tahun-tahun awal perlu fokus pada usaha tertentu saja, misal agribisnis. Sedangkan usaha lainnya bersifat opsional yang dikembangkan seturut kapasitas koperasi. Pemerintah harus memiliki kesabaran dan pemahaman bahwa perusahaan tumbuh mengikuti siklus hidup tertentu.

Membebani Kopdes dengan aneka usaha di saat kapasitas, khususnya SDM, mereka belum siap, akan kontra produktif terhadap keberlangsungan usaha. Pada titik ini Pemerintah perlu memberikan kelonggaran atau fleksibilitas terkait usaha yang wajib dan opsional diselenggarakan. Kelonggaran tersebut pada gilirannya akan mendorong prakarsa dan entrepreneurial para pemimpin koperasi di lapangan.

Ketiga, untuk keluar dari tantangan SDM dan jebakan skala ekonomi, boleh jadi Kopdes perlu dikonsolidasi melalui pembentukan koperasi sekunder level kecamatan. Sekunder dapat berperan dalam perencanaan bisnis secara padu dengan cakupan kawasan tertentu. Sedangkan primer dapat menjadi perpanjangan kaki-kaki layanan dan usaha sekunder di masing-masing desa.

Pendekatan tersebut memungkinkan Kopdes dapat mengonsolidasi bahan baku, rantai pasok, sarana-pra sarana serta jangkauan pasar. Alhasil, pembangunan Kopdes dapat diarahkan berbasis pendekatan industrialisasi untuk tingkatkan produktivitas. Atau juga dapat didorong kea rah hilirisasi untuk tingkatkan nilai tambah. Sekunder, misalnya, dapat membangun pabrik pengolahan, sedangkan primer berperan memasok komoditas mentah. Pada pemasaran, dapat dikembangkan sekunder level kabupaten misalnya untuk orientasi ekspor.

Keempat, intervensi berbasis asesmen. Suatu sistem asesmen perlu dikembangkan untuk mengukur capaian Kopdes. Alat semacam Development Ladder Assessment (DLA) dan sejenisnya dapat diadopsi dan dikontekstualisasi. Di mana masing-masing Kopdes memiliki rapor DLA yang dirujuk sebagai rencana intervensi tahap berikutnya.

Anggaplah di satu kecamatan secara umum Kopdes dikelompokkan menjadi empat jenjang. Masing-masing jenjang menggambarkan capaian dengan kebutuhan intervensi tertentu. Sistem insentif dan disinsentif dapat diterapkan, misalnya bila capaiannya tidak masuk peringkat pada tahun kedua, Kopdes hanya dapat ajukan anggaran dengan batas tertentu. Operasional sistem asesmen ini berhubungan dengan poin berikutnya, yakni kolaborasi pemangku kepentingan.

Kelima, perlunya kolaborasi dengan gerakan koperasi, kampus, lembaga inkubator dan lainnya. Untuk jangkauan seluas Indonesia kita butuh, bukan hanya 10 atau 100, tapi 1.000 resep sukses. Dari pada hanya menggunakan instrumen birokrasi, yang boleh jadi tak kuasai seluk-beluk pengelolaan usaha, kolaborasi dengan stakeholder lain dapat menjadi solusi. Dengan cara demikian, asesmen dan rapor masing-masing Kopdes dapat dipantau dengan seksama.

Hasilnya, Pemerintah dapat menggunakan banyak pendekatan berbeda yang terbukti sukses untuk diimplementasikan pada Kopdes di wilayah lain. Gerakan koperasi, kampus, lembaga inkubator dan lainnya, dengan berbagai rumus sukses masing-masing dapat mengambil peran untuk mendampingi Kopdes sesuai dengan potensi desa, komoditas serta rencana strategis yang mereka kembangkan.

Keenam, untuk mengurangi potensi penyalahgunaan anggaran, pengawasan menjadi kunci sukses. Selain menggunakan instrumen negara, seperti dinas, BPKP dan BPK, yang utama dan pertama adalah bagaimana memperkuat sistem pengawasan internal. Pembangunan kapasitas Pengawas masing-masing koperasi adalah mutlak diperlukan.

Cara lain adalah dengan membangun transparansi tata kelola. Bayangkan tiap Kopdes diwajibkan untuk menyampaikan laporan kinerja dan keuangan secara berkala, misal catur wulan, melalui kanal tertentu seperti baligo yang dipasang di tempat strategis. Tujuannya agar masyarakat, yang nota bene anggota atau calon anggota, dapat memantau. Selain menjadi lebih akuntabel, cara itu akan meningkatkan rasa pemilikan Kopdes oleh warga setempat.

Penutup

Penelitian IMF yang dilakukan Norris dkk (2015) menemukan bahwa kenaikan 1 poin persentase kelompok pendapatan 20% teratas mengurangi pertumbuhan PDB sebesar 0,08% dalam 5 tahun. Sedangkan kenaikan serupa pada 20% kelompok terbawah meningkatkan pertumbuhan sebesar 0,38%. Boleh jadi Kopdes dimaksudkan untuk itu, yakni upaya meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat level bawah.

Bila hal itu tercapai, tak hanya anggota serta masyarakat desa sejahtera, namun mengikuti kajian IMF di atas, dapat mengungkit pertumbuhan PDB secara signifikan. Yang mana selaras dengan apa yang dicitakan oleh Presiden, pertumbuhan mencapai 8%. Tentu saja syaratnya sebagian besar Kopdes harus tumbuh, berkembang dan berkelanjutan. []


*Ketua Komite Eksekutif ICCI. Artikel ini sebelumnya telah dimuat pada Majalah PICU Edisi April 2025.

ICCI Luncurkan KMP Hub Indonesia, Perkuat Ekosistem Koperasi Multi Pihak

Comments(7)

  1. Reply
    comment Romulo Marpaung says

    Saya sangat sependapat dengan ulasan ini. Pendapat senada juga telah saya bahas dalam Channel Youtube saya yaitu, Klinik BUMDES.

  2. Reply
    comment Joko Ranger says

    Apapun namanya kalo koperasi biasa dikorupsi para pengelolanya . Susah untuk maju.

  3. Reply
    comment Mang Dani says

    Yang perlu juga diperhatikan adalah pendidikan calon anggota, dalam hal ini masyarakat, perlu diedukasi sehingga mereka paham akan hak dan kewajiban, sekaligus juga berperan sebagai kontrol terhadap jalannya Kopdes.

  4. Reply
    comment Suryo Bagus, S.Sos. ( Aktivis Koperasi kota Semarang) Pengurus DEKOPINDA KOTA SEMARANG. says

    Menurut saya Kopdes di tiap tiap daerah punya potensi kemampuan yang sangat berbeda-beda.
    Untuk itu perlu dibuat role model yang tepat .
    Misal di daerah Kabupaten Tegal cocok untuk pengembangan Kopdes di bidang agrobisnis Bawang merah, cabai atau Pertanian.
    Tapi di daerah Kupang NTT tidak cocok untuk dibuatkan Kopdes Agribisnis pertanian. Untuk peran Kepala Daerah / Kepala Desa sangat menentukan sektor apa yang tepat untuk pengembangan dan kemajuan Kopdes di daerah masing masing.
    Jangan sampai kita latah dalam menentukan arah kebijakan Kopdes di tiap-tiap daerah.
    Ini menjadi tantangan dan peluang kita bersama dalam menentukan arah kebijakan dalam membuat Sektor usaha Kopdes .

  5. Reply
    comment Ardhien nafiah Mr.BQ-Chot says

    Ide teoritis yg sangat baik… kopdes merah putih akan berbenturan kepentingan dengan bumdes dan bumdesma yg juga melakukan aktifitas ekonomi yg saat ini sdh berjalan di desa yg secara kelembagaan berada dalam binaan pemerintahan desa….

  6. Reply
    comment Aris Ahmad Risadi (Mantan Ketua Dewas BUMDesa, dan Sekretaris Koperasi SBS) says

    Koperasi yang keberadaannya dianggap sebagai amanah UUD’45 dalam sejarah Indonesia seperti sulit untuk berkembang. Segala sesuatu yang menggunakan pendekatan dari atas kejayaannya tidak berkelanjutan.

    BUMDesa yang diberikan kesempatan untuk hadir di Desa, menjadi salah satu ruang partisipasi Desa dalam mendorong perekonomian Desa. Institusi BUMDesa kehadirannya tidak lepas dari penghargaan Negara terhadap Desa yang selama ini dipinggirkan. Dalam UU Desa, sejatinya Desa didorong sebagai subyek pembangunan. Untuk itu Desa memiliki hak rekognisi dan subsidiaritas.

    Koperasi yang didirikan dengan semangat dari individu pendiriannya menjadikan pendirian Kodes Merah Putih agak terganggu jika institusi Musdes/Pemerintahan menjadi bagian dari proses pendirian. Apakah rezim hukum perkoperasian mengakomodasi pendekatan ini?

Post a comment