Kamis, 5 Juni 2025, Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI) menyelenggarakan webinar dalam rangka research expose Persepsi Pemangku Kepentingan terhadap Koperasi Desa/ Kelurahan Merah Putih. Audito Aji Anugrah, Kepala Divisi Riset dan Manajemen Pengetahuan ICCI mempresentasikan jajak pendapat yang diikuti oleh 347 responden dari berbagai kelompok pemangku kepentingan seperti pemerintah, praktisi koperasi, komunitas, akademisi, dan masyarakat umum. Survei ICCI berupaya memetakan persepsi para pemangku kepentingan sebagai cermin harapan sekaligus tantangan pelaksanaan program ini.



Mayoritas responden (sekitar 55,6%) menilai program ini relevan dengan kebutuhan masyarakat desa, sementara 53,2% percaya bahwa program ini solutif dalam mengatasi masalah ekonomi masyarakat. Namun, terdapat juga keraguan cukup tinggi, dengan 26-29% responden yang ragu dan sekitar 18-22% yang kurang setuju atas relevansi dan efektivitas program. Terkait ketepatan dan efektivitas program, lebih dari 50% responden menganggap program ini sudah tepat sasaran dan efektif memberikan dampak positif. Namun, sekitar 20-25% masih ragu-ragu dan 21-25% menyatakan kurang yakin efektivitasnya. Mengenai urgensi pelaksanaan, hampir setengah responden (48%) menilai program ini perlu segera dijalankan, meski 29,7% berpendapat program tidak urgen. Sementara itu, keyakinan terhadap keberhasilan program berada pada angka 43%, dengan lebih dari 30% masih ragu dan 26% tidak yakin. Keyakinan program bebas dari korupsi lebih rendah, hanya 25,6% yang yakin, dan 38,9% tidak yakin. Lebih kritis lagi, hanya 28% responden yang percaya program ini bisa bebas dari politisasi, sedangkan 38% merasa program ini tidak bebas dari pengaruh politik. Tingkat keyakinan keberlanjutan koperasi berada di angka 42,7%, dengan 29% pesimis.

Survei mengidentifikasi lima isu utama tantangan yang harus diperhatikan, yakni: Kapasitas SDM pengelola koperasi yang masih terbatas, Komunikasi dan sosialisasi yang belum merata ke masyarakat desa, Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan koperasi, Partisipasi aktif masyarakat sebagai anggota koperasi dan Sinkronisasi kebijakan antar kementerian dan lembaga. Sedangkan risiko utama yang mengancam keberhasilan program adalah rendahnya manajerial dan kemampuan kewirausahaan pengurus koperasi, rendahnya partisipasi masyarakat, potensi penyimpangan penggunaan anggaran, dan risiko politisasi untuk kepentingan elektoral.



Survei juga menyoroti pandangan masing-masing pemangku kepentingan dalam beragam isu. Pemerintah, relatif optimis dengan tingkat persetujuan sekitar 55-60% untuk relevansi, solutif, tepat sasaran, efektif, dan urgensi program. Namun, pemerintah juga mengakui adanya risiko terutama terkait SDM pengelola yang kurang kompeten dan potensi politisasi. Tingkat keyakinan pemerintah terhadap keberhasilan program mencapai 46%, sementara keyakinan bebas korupsi dan politisasi masih di bawah 40%. Praktisi koperasi, memperlihatkan pandangan yang lebih skeptis. Mereka cenderung terpecah dalam menilai relevansi, efektivitas, dan keberhasilan program, dengan tingkat ketidakpastian dan ketidaksetujuan yang lebih tinggi dibanding kelompok lain. Praktisi juga sangat meragukan kemungkinan program bebas korupsi (hanya 14,5% yakin) dan bebas politisasi (17,7% yakin).

Komunitas, menunjukkan sikap paling optimis, dengan persetujuan di atas 60% untuk relevansi, solusi, efektivitas, dan urgensi pelaksanaan program. Namun, mereka juga mengakui adanya potensi penyalahgunaan dan kurangnya kompetensi pengurus koperasi, serta keraguan atas keberlanjutan dan kebebasan korupsi. Akademisi, adalah kelompok paling skeptis, dengan hanya sekitar 34-46% yang setuju program relevan, solutif, tepat, dan efektif. Mereka menyoroti pendekatan top-down yang kurang mengakar, lemahnya SDM pengelola, serta risiko tingginya politisasi dan korupsi. Keyakinan mereka terhadap keberlanjutan koperasi paling rendah di antara semua kelompok. Masyarakat umum, relatif optimis, dengan lebih dari 50% menilai program relevan, solutif, tepat, dan efektif. Masyarakat juga menaruh harapan tinggi pada keberhasilan dan keberlanjutan program, dengan keyakinan bebas korupsi sekitar 31%.



Survei ini memberikan gambaran berimbang antara optimisme besar dan kekhawatiran mendalam atas pelaksanaan Program Koperasi Desa Merah Putih. Harapan terbesar datang dari komunitas dan masyarakat yang melihat potensi koperasi sebagai solusi nyata meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian desa. Namun, skeptisisme dari akademisi dan praktisi yang berpengalaman menandakan bahwa keberhasilan program sangat bergantung pada: 1). Peningkatan kapasitas dan profesionalisme SDM pengelola koperasi melalui pelatihan, pendampingan berkelanjutan, dan rekrutmen yang selektif. 2). Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan koperasi, termasuk pengawasan ketat yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan penggunaan teknologi digital untuk mencegah korupsi. 3). Penguatan sosialisasi dan partisipasi masyarakat agar seluruh anggota koperasi memahami prinsip koperasi dan berperan aktif dalam pengambilan keputusan. 4). Penghindaran politisasi dengan menjaga independensi koperasi dan pengurusnya, serta menjadikan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat, bukan alat politik elektoral. 5). Sinergi antar kementerian dan lembaga untuk mensinergikan kebijakan dan menghindari tumpang tindih program di tingkat desa. 6). Perencanaan matang yang mengedepankan kebutuhan dan kondisi lokal desa agar program lebih berkelanjutan dan mengakar.

Hasil survei itu ditanggapi oleh beberapa narasumber dari unsur Pemerintah, Koko Haryono, Staf Ahli Menteri Koperasi Bidang Hubungan Antar Lembaga, Akademisi yakni Prof. Ahmad Subagyo, Ketua Asosiasi Dosen Ekonomi Koperasi dan Keuangan Mikro Indonesia (ADEKMI) sekaligus WR III Universitas IKOPIN. Kemudian ada Misbah Isnaifah, Ketua Koperasi CU Gema Swadaya dari unsur Praktisi dan Yani Setiadi, Sekdes Ponggok, Klaten dari unsur pelaku desa. Webinar diikuti oleh 180 peserta dari berbagai kalangan, termasuk pengurus Koperasi Desa Merah Putih yang sudah terbentuk.