Oleh Dodi Faedlulloh*

Pernyataan Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi bahwa pembentukan 80 ribu unit Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dilakukan dengan “separuh insting, separuh teknokrasi”, patut dikritisi. Hal itu merupakan pengakuan yang problematik dalam konteks tata kelola kebijakan publik yang seharusnya mengedepankan prinsip evidence-based policy (EBP).

Di tengah tantangan sosial-ekonomi perdesaan yang kompleks, membangun koperasi secara massif tanpa peta jalan berbasis data, riset, dan uji coba justru berisiko menambah daftar kegagalan koperasi. Salah satu pelajaran penting dari masa lalu adalah runtuhnya banyak Koperasi Unit Desa (KUD). Padahal KUD dulu pernah menjadi andalan program pembangunan ekonomi desa era Orde Baru.

Hal itu terjadi Karena pembentukannya cenderung top-down dan politis. Juga tidak berbasis pada kebutuhan riil masyarakat, aspirasi anggota, serta minim kapasitas manajerial. Banyak dari koperasi tersebut hanya bertahan selama masa intervensi pemerintah dan tutup setelahnya. Sekarang banyak KUD dinyatakan tidak aktif, hanya papan nama, sebagian besar karena praktik tata kelola yang buruk, tidak adanya transparansi, serta lemahnya partisipasi anggota.

Kegagalan ini menunjukkan bahwa koperasi yang tidak dibangun atas dasar pemahaman sosial-ekonomi lokal akan menjadi beban, bukan solusi. Maka, pendekatan instingtif dalam proyek KDMP menjadi sangat rentan dan dapat mengulangi kesalahan historis yang sama.

Evidence-Based Policy

Premis fundamental dari EBP berakar pada keyakinan bahwa kebijakan publik perlu dipandu oleh bukti empiris yang kuat, bukan semata-mata oleh kerangka kerja teoretis, insting birokrasi, atau pertimbangan politik jangka pendek. French (2018) mendefinisikan EBP sebagai proses sistematis yang mencakup identifikasi, penilaian kritis, dan penerapan bukti yang relevan untuk mencapai tujuan kebijakan yang spesifik dan terukur.

Dalam konteks ini, ada beberapa argumentasi mengapa EBP perlu menjadi kerangka dasar dalam penyusunan program KDMP. Pertama, dalam pendekatan EBP, kebijakan publik harus dirancang berdasarkan bukti empiris, evaluasi kritis terhadap intervensi yang telah ada, dengan pilot project yang terukur.

Dalam konteks governansi publik, roadmap bukan sekadar istilah atau gaya bahasa teknokrat. Ia adalah instrumen strategis yang menjelaskan bagaimana sebuah kebijakan berjalan: siapa yang terlibat, tahapan yang harus dilalui, risiko yang harus dimitigasi, dan hasil apa yang ingin dicapai

Tanpa dasar bukti yang kokoh, kebijakan mudah berubah menjadi instrumen politis yang gagal menciptakan dampak jangka panjang. Ketika Menteri Koperasi menyatakan bahwa “tidak ada acuan di dunia” terkait program koperasi ini, pernyataan tersebut tidak hanya menyesatkan, tetapi juga menandakan absennya upaya policy learning. Justru ketiadaan preseden global menjadi alasan kuat mengapa pembelajaran lintas-negara, adaptasi best practices, dan penelitian kontekstual harus dijadikan pijakan utama dalam penyusunan kebijakan.

Negara-negara seperti Finlandia, Kanada, atau Jepang, misalnya, memiliki sistem koperasi desa yang tidak hanya hidup, tetapi juga berakar kuat di komunitas dan menopang kesejahteraan anggotanya. Di Finlandia, koperasi pertanian dibangun melalui proses panjang yang didahului oleh pendampingan intensif dan dukungan kebijakan yang konsisten (Kumpulainen dan Soini, 2019). Di Jepang, koperasi pertanian dikembangkan melalui kombinasi regulasi, insentif fiskal, serta pendidikan bagi petani (Kurimoto, 2004). Sementara di Kanada, koperasi kredit tumbuh dari kebutuhan masyarakat pedesaan terhadap akses keuangan yang inklusif (Brown, 2020). Ketiganya menunjukkan bahwa kebijakan koperasi tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-ekonomi yang spesifik dan memerlukan perencanaan jangka panjang yang serius. Indonesia seharusnya bisa belajar dari pengalaman mereka, bukan justru menjadikannya alasan untuk membenarkan absennya EBP.

Kedua, klaim keberhasilan program yang didasarkan pada angka pembentukan koperasi dan penerbitan SK badan hukum belum tentu merefleksikan berfungsinya koperasi tersebut. Koperasi yang hanya aktif di atas kertas, tanpa kapasitas manajerial, partisipasi anggota yang kuat, dan model bisnis yang berkelanjutan, akan berujung pada pemborosan sumber daya publik. Ketika kebijakan lebih berorientasi pada target numerik daripada transformasi struktural, maka yang lahir bukanlah inovasi kelembagaan, melainkan tumpukan entitas formal yang rapuh. Dalam jangka panjang, ini akan semakin memperkuat kembali risiko hilangnya kepercayaan publik terhadap koperasi sebagai soko guru ekonomi negeri.

Pernyataan bahwa “warga belum siap, belum banyak yang tahu manajemen koperasi dan sejenisnya” seharusnya dibaca sebagai alarm keras bahwa infrastruktur sosial dan kesiapan kelembagaan di tingkat komunitas belum tersedia. Dalam kerangka kebijakan publik yang berorientasi partisipasi, kesiapan warga dan kapasitas komunitas justru harus menjadi prasyarat utama, bukan konsekuensi yang dikejar setelah program berjalan.

Liputan jurnalisme investigatif Konsentris (2025) menegaskan bahwa banyak warga desa yang menjadi objek, bukan subjek aktif, dalam pendirian KDMP. Bahkan, dalam sejumlah kasus, proses pembentukan koperasi terkesan dipaksakan tanpa pemahaman yang memadai tentang hakikat koperasi, manajemen, dan tata kelola organisasi. Catatan kritisnya, program yang digulirkan secara nasional, sebelum siap secara sosial, institusional, dan teknikal, akan sangat berisiko dan melahirkan institusi yang disfungsional.

Ketiga, pendekatan EBP juga mensyaratkan keterlibatan aktor lokal dan pemangku kepentingan secara deliberatif sejak tahap perencanaan. Jika pelatihan baru dirancang setelah koperasi terbentuk, maka pola top-down dan buru-buru justru akan menciptakan kelembagaan yang mandul. Padahal, koperasi sebagai artikulasi demokrasi ekonomi memerlukan pemahaman, kesukarelaan, dan kapasitas anggota agar bisa berfungsi secara efektif. Pendekatan instingtif tanpa kesiapan komunitas lokal hanya akan melahirkan koperasi-koperasi yang menggantungkan diri pada bantuan pemerintah, bukan yang mandiri dan tumbuh dari bawah.

Keempat, dalam konteks geografis dan demografis yang beragam di Indonesia, dibutuhkan pendekatan kebijakan yang berbasis diferensiasi wilayah dan budaya. Tidak semua desa bisa dipaksakan memiliki koperasi dengan model seragam. Justru di sinilah letak pentingnya kebijakan berbasis bukti: memahami konteks lokal, mengidentifikasi hambatan struktural, dan merancang model yang relevan secara sosial dan ekonomi.

Proyek Simbolik

Tanpa kerangka kerja strategis yang matang, KDMP hanya akan menjadi proyek simbolik tanpa dampak transformatif bagi ekonomi perdesaan. Pemerintah seharusnya belajar dari sejarah panjang koperasi Indonesia, bukan jumlah yang penting, tapi kualitas, keberlanjutan, dan akar sosialnya. Dengan EBP, suatu intervensi dapat diuji terlebih dahulu melalui pilot project. Lalu hasilnya diukur dan perbaikan dilakukan sebelum implementasi skala besar dilakukan. Tujuannya untuk mencegah pemborosan dana publik.

Kemudian, kebijakan yang didasarkan pada bukti nyata lebih mudah dipertanggungjawabkan dan dikomunikasikan kepada masyarakat. Ketika masyarakat melihat bahwa kebijakan dilandasi oleh riset, konsultasi publik, dan bukti keberhasilan sebelumnya, mereka cenderung lebih percaya dan bersedia terlibat secara aktif. Ini penting karena koperasi hanya akan berhasil jika anggota merasa memiliki (sense of ownership) dan berpartisipasi dalam pengelolaan.

Sudah saatnya pemerintah berhenti mengulangi kesalahan yang sama. Negara tidak seharusnya membentuk koperasi secara instruktif, tetapi memfasilitasi munculnya ekosistem yang memungkinkan koperasi tumbuh dari bawah: mulai dari pendidikan koperasi yang berkelanjutan, pendampingan profesional, hingga kebijakan insentif yang berdasarkan performa, bukan sekadar formalitas.

Jika pemerintah sungguh ingin memajukan ekonomi rakyat, maka koperasi harus dilihat sebagai gerakan sosial-ekonomi, bukan sekadar kendaraan pencapaian target politik. Koperasi bukan sekadar angka di dashboard kementerian, tetapi ekosistem sosial yang membutuhkan waktu, kepercayaan, dan kapasitas. Jika EBP sungguh dijadikan acuan, maka arah kebijakan koperasi harus dimulai dari pertanyaan: Siapa yang membutuhkan? Apa yang mereka butuhkan? Apa yang mereka mampu kelola? Bagaimana negara mendampingi tanpa mendikte? []


*Dosen Ilmu Administrasi Publik, Universitas Lampung. Ketua II Indonesian Consortium for Cooperative Innovation


Sebelumnya artikel ini telah dimuat di Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2025/07/16/151654426/mendesak-evidence-based-policy-program-koperasi-desa-merah-putih