Oleh: Firdaus Putra, HC.

Ternyata pandangan Fadli Zon soal Margono Djojohadikusumo lebih layak menyandang gelar “Bapak Koperasi”, tak hanya disampaikan pada Agustus 2025 kemarin. Di momen peluncuran dan bedah buku “Margono Djojohadikusumo, Pejuang Ekonomi dan Pendiri BNI 46” karya Jimmy S Harianto dan HMU Kurniadi yang digelar Kompas Institute (9/8), ia mengatakan “Mungkin lebih tepat Pak Margono disebut Bapak Koperasi tapi Bung Hatta Bapak Ekonomi Kerakyatan”.

Pernyataannya konsisten. Sebab 12 tahun lalu, dalam Buletin Gema Indonesia Raya (Juli, 2013) ia menulis, “… Mohammad Hatta sering disebut sebagai Bapak Koperasi, tapi menurut saya yang tepat adalah Bapak Ekonomi Kerakyatan. Margono lebih tepat disebut Bapak Koperasi”. Artinya klaim tempo lalu benar-benar ia yakini sebagai hal yang seharusnya. Sebagai hal yang benar.

Lalu seberapa benar klaim Fadli Zon tersebut? Mari kita kupas.

Bapak Koperasi

Pandangan Fadli Zon di atas tentu berseberangan dengan konvensi umum di mana Moh. Hatta lah Bapak Koperasi. Penyematan gelar itu bukan klaim sepihak yang dilakukan oleh Bung Hatta. Sebaliknya suatu penganugerahan (awarding) yang diberikan gerakan kepada beliau tepatnya pada Kongres Besar Koperasi Seluruh Indonesia ke-2 di Bandung pada Juli 1953.

Meski tak banyak berkecimpung langsung sebagai praktisi koperasi, melalui pemikirannya Hatta selalu meresonansi peran koperasi dalam perekonomian nasional. Tak hanya berhenti di pemikiran, advokasi nyata dilakukan, paling monumental adalah Pasal 33 UUD 1945, berikut penjelasannya (sebelum amandemen).

Jadi sangat pantas anugerah itu diberikan kepadanya, bukan ke yang lain. Meskipun Soekarno juga pernah tercatat memperoleh gelar ini, tepatnya pada Agustus 1965 di Musyawarah Nasional Koperasi ke-2 di Jakarta. Namun momen itu dicatat oleh gerakan koperasi sebagai periode kooptasi. Di mana koperasi diposisikan sebagai “alat revolusi” yang menandai intervensi negara kepada koperasi.

Sejarah terus bergulir. Gerakan koperasi masih tetap mencatat Bapak Koperasi adalah Bung Hatta. Bukan Soekarno atau Margono, seperti kata Fadli Zon.

Peran Margono

Zon dalam Buletin Gema Indonesia Raya (Juli, 2013) mengurai bahwa sebagai pejabat koperasi di zaman Belanda, Margono sempat menulis buku “Sepuluh Tahun Koperasi, 1930-1940”. Dalam buku itu ia merekam “… bagaimana sejarah dan perkembangan koperasi sejak awalnya hingga menghadapi depresi besar dunia. Koperasi ternyata punya daya tahan terhadap krisis ekonomi”, katanya.

Sedikit historiografi yang membabar peran Margono dalam percaturan koperasi Indonesia. Dalam biografi di atas, para penulis juga tak banyak mengupas kiprahnya terkait koperasi. Selain bahwa beliau pernah menjabat sebagai Ketua Gaboengan Poesat Koperasi Indonesia (Gapki) dan membantu pendirian Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI).

Dalam telisik sejarah sistem kredit rakyat (Volkscredietwezen) justru peran beliau dapat dilihat. Volkscredietwezen merupakan inisiatif pemerintah kolonial Belanda yang dirancang untuk menyediakan akses kredit murah bagi kelompok masyarakat kecil seperti petani, pedagang kecil, dan sebagainya. Sistem ini mencakup berbagai institusi seperti bank kredit populer (popular credit banks), bank desa (village banks), lumbung padi desa (village rice banks), dan layanan Centrale Kas.

Volkscredietwezen lahir dari kebijakan etis Belanda pada akhir abad ke-19, sebagai respons terhadap eksploitasi rentenir yang merajalela di kalangan petani dan pedagang kecil. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui fasilitasi pinjaman mikro untuk tujuan produksi maupun konsumsi.

Sepanjang sejarahnya dari 1895 hingga 1935, Volkscredietwezen menghadapi banyak tantangan. Salah satunya, dan berdampak besar mengubah sejarah, adalah Depresi Besar yang terjadi di awal 1930-an. Krisis itu memperburuk masalah yang sudah ada seperti administratif, seperti pengawasan lemah dan ketergantungan pada struktur hierarkis khususnya pada bank desa (Schmit, 1994). Jalan keluarnya, reorganisasi radikal harus dilakukan.

Sikap Margono

Sebelum akhirnya diputuskan untuk lakukan reorganisasi, Fruin menjaring pandangan para penasehatnya, Middendorp dan Margono. Selayaknya wasit yang netral, ia fasilitasi debat pemikiran sepanjang tahun 1933 tentang alternatif solusi. Tidak tanggung-tanggung, debat antara kedua tokoh itu tercatat sepanjang 1.250 halaman (Schmit, 1994). Dari debat itu, kita bisa melihat bagaimana posisi dan sikap Margono vs Middendorp.

Margono melihat Depresi Besar sebagai ancaman serius bagi stabilitas sistem kredit yang ada. Ia berpendapat bahwa reorganisasi dengan pengelolaan yang desentralistik ala koperasi justru membuka potensi korupsi oleh kepala desa serta inefisiensi. Karena itu, ia mendorong sentralisasi melalui penggabungan bank desa ke dalam Algemeene Volkscredietbank (AVB-Bank). Baginya, stabilitas fiskal dan keberlanjutan lebih penting daripada eksperimen partisipatif masyarakat yang berisiko tinggi.

Ia terlihat lebih mengutamakan efisiensi administrasi dan pengawasan ketat, ketimbang mengandalkan kapasitas lokal yang dianggap rapuh. Ia lebih mendukung “Sistem Agustus” meski mekanis namun lebih efektif. Pola ini tidak banyak membangun kapasitas pengelola, namun lebih realistis menjaga kelangsungan kredit rakyat dalam situasi krisis.

Dalam kerangka besar, Margono menilai peran pemerintah harus dominan dalam memastikan arus kredit berjalan aman. Ia skeptis terhadap model koperasi karena khawatir menimbulkan masalah berhadapan dengan kelemahan birokrasi desa dan praktik rente.

Sikap Middendorp

Sebaliknya, Middendorp memandang koperasi sebagai jalan emansipasi ekonomi rakyat kecil. Ia menolak reorganisasi dengan pengelolaan sentralistik yang dianggap membunuh swadaya. Ia meyakini bahwa petani serta pedagang kecil mampu mengelola kredit mereka sendiri bila difasilitasi dengan tepat.

Berlawanan dengan Margono, ia melihat “Sistem Krawang” yang menekankan pembentukan kelompok, serta pinjaman produktif dengan bunga rendah, adalah solusi. Baginya, koperasi adalah wadah belajar manajemen keuangan sekaligus alat untuk memutus ketergantungan pada rentenir. Middendorp justru percaya pada potensi struktur desa yang dianggap Margono sebagai sarang patronase. Ia melihat lurah bukan sebagai penguasa mutlak, melainkan fasilitator yang dapat memperkuat kemandirian warga bila diberi pelatihan dan insentif.

Dengan semangat bottom-up empowerment, ia mengusulkan integrasi bank-bank desa ke dalam koperasi. Inspirasi dari tradisi Raiffeisen di Jerman menguatkan keyakinannya bahwa mutualitas lebih berkelanjutan daripada kontrol hierarkis (Schmit, 1994).

Debat intelektual itu disudahi dengan pemungutan suara yang dilakukan oleh Fruin. Dua pertiga dari 90 dewan manajemen dan tiga perempat dari para pengawas menyetujui. Alhasil bank-bank desa itu direorganisasi dengan menggabungkannya (amalgamasi) ke dalam AVB-Bank. Proposal Margono menang di atas Middendorp. Dalam sejarahnya, AVB-Bank kemudian berubah menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI), seperti yang kita kenal saat ini.

Sikap Fruin

Fruin memahami kritisi Middendorp dan sarjana lainnya, bahwa sistem bank desa saat itu terlalu kaku dan birokratis. Komite bank desa bahkan desa sendiri hampir tidak memiliki wewenang apa pun. Sehingga lembaga-lembaga itu tidak dinamis dan tidak mendidik. Ia memahami bahwa lumbung dan bank desa hanyalah cabang lokal dari Centrale Kas. Dengan kepala desa sebagai pengelola tanpa kewenangan nyata selain menyalurkan pinjaman dalam batasan yang ketat (Fruin, 1933).

Namun, ia menilai perubahan mendasar, seperti yang diusulkan Middendorp, sulit diwujudkan. Sebab setiap upaya memberi fleksibilitas justru berulang kali kandas karena penyimpangan karena lemahnya kapasitas pemerintah desa. Sebaliknya sebagai alternatif, Fruin melihat harapan pada organisasi koperasi.

Namun, koperasi yang dimaksud bukanlah campuran setengah hati dengan pemerintah desa. Melainkan organisasi swasta yang otonom, bebas dari intervensi desa, pemerintah daerah, maupun Central Kas. Pemerintah boleh mendukung secara administratif atau finansial, tetapi tidak boleh menjadi manajer atau pengawas. Baginya, hanya koperasi yang benar-benar independen yang dapat melahirkan sistem kredit desa yang nyata dan mandiri.

Fruin mencatat, “The only possibility I see for a real, vivid, own credit system in the village is in a cooperative organization. But not a half-hearted cooperative, no mixture between a government (village) institution and a cooperative condemned to failure, but a private organization, without interference from the village administration, Local Government or Central Fund; only with an official relation to the cooperative service (Fruin, 1933).

Debat panjang di atas menggambarkan dua hal. Pertama, Middendorp lebih nampak sebagai advokat koperasi daripada Margono. Sedangkan Fruin memahami idealitas koperasi yang seharusnya benar-benar dikelola secara bottom-up. Tak bisa campuran dengan intervensi dari pemerintah seperti dalam kasus reorganisasi bank desa.

Kedua, proposal Margono membawa sistem kredit rakyat keluar dari krisis Depresi Besar kala itu. Usulannya tepat dan membuat sistem kredit desa menjadi berkelanjutan, yang jejaknya masih kita lihat hari ini, BRI. Jadi, alih-alih menganugerahi Margono sebagai Bapak Koperasi, lebih tepat menyematkannya sebagai Bapak Perbankan Indonesia. Di mana dari tangan beliau BNI juga dilahirkan. []


Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Kompas.com pada 27 September 2025. Dimuat ulang untuk tujuan literasi publik.