March 6, 2022

Penulis:Ā  Arsiya Wenty, Business Advisor Agriterra

New Generation CooperativeĀ (NGC) bukanlah istilah baru dalam perkembangan koperasi di negara-negara maju. Istilah ini semakin populer ketika terjadi perubahan signifikan pada sektor pertanian, atau lebih dikenal dengan industrialisasi pertanian. Tren yang kemudian berkembang adalah menurunnya jumlah petani kecil dan meningkatnya praktekĀ corporate farming. Akibatnya, banyak petani meninggalkan profesinya, menjual lahan produksinya, atau urbanisasi ke kota besar untuk bekerja serabutan.

Sebenarnya hal ini bisa dihindari, jika para petani kecil dan menengah tersebut terorganisir dan terintegrasi, baik dalam hal budidaya (on-farm), pengolahan hasil produk pertanianĀ (off-farm), sekaligus pemasarannya. Konsep yang sangat populer dan cocok adalah model koperasi. Namun, untuk dapat bersaing dengan perkembangan zaman, koperasi tersebut harus mampu memainkan peran dari hulu ke hilir, sehingga tidak hanya bertindak sebagai ā€œpengepulā€ bahan baku, namun mampu mengolah dan memasarkan produk pertaniannya.

Menurut pakar, NGC terintegrasi secara vertical dan memberikan penghasilan lebih besar kepada para petani (as producers) dengan menjual produk olahan daripada bahan mentah (Nilsson, 1997). Intinya, NGC menekankan pada kepemilikan atas usaha pengolahan, baik 100% dimiliki oleh petani (yang terorganisir dalam koperasi) atauĀ joint ventureĀ danĀ strategic partnershipĀ dengan perusahaan yang sudah lebih dahulu sukses. NGC merupakan bentuk organisasi bisnis yang mengkombinasikan keunggulan TC dan Perusahaan Investor (investor-woned firm, IOF).

NGC sangat fokus pada proses penambahan nilai (value-added) dan pemasaran. Akibatnya, NGC mengharuskan adanya perjanjian antar petani produsen (producer agreements) dan investasi awal dari para anggota (up-front equity investments). Dalam tulisan ini perjanjian produsen akan dikenal dengan Sertifikat Hak dan Kewajiban (SHK). Praktek koperasi produsen yang berkembang di Indonesia saat ini, mayoritas masih menerapkan sistem koperasi tradisional (Traditional Cooperative, TC). Kedua konsep ini memiliki tujuan yang sama, namun terdapat perbedaan besar terkait cara koperasi mengelola pemasaran dan keuangan bisnisnya.

Untuk mempermudah perbedaan NGC dengan TC dibutuhkan sejumlah kategori mendasar, salah satunya,Ā KeanggotaanĀ (pengguna jasa koperasi). Dalam NGC anggota memiliki dua peran sebagai pelanggan (customer) dan pemilik (owner). Sebagai pelanggan, anggota memiliki SHK khusus untuk menyetor komoditasnya berdasarkan kualitas dan kuantitas tertentu yang telah disepakati dan ditetapkan koperasi. Sedangkan sebagai pemilik, anggota diwajibkan untuk berinvestasi dalam usaha milik koperasi yang berisi kewajiban untuk memasok komoditasnya dengan konsisten ke koperasi.

Sebagai contoh Koperasi Beras XY berinvestasi membangun sebuah Pabrik Penggilingan Beras XYZ, setiap anggota memiliki sertifikat hak dan kewajiban dengan investasi Rp 12.000.000/Ha dengan kewajiban menyetor gabah 8 ton/tahun. Sebagai timbal baliknya, pentani anggota yang bersertifikat akan mendapatkan harga gabah tetap sepanjang tahun, Rp 5.000/Kg GKP. Dengan begitu, kontinuitas pasokan gabah ke pabrik dapat stabil sepanjang tahun, karena para petani bertindak sebagai pemasok dan pemilik pabrik tersebut.

Sedangkan dalam praktek TC, hak dan kewajiban tidak begitu ditentukan dalam kontrak yang jelas. Kebanyakan petani anggota dibebaskan untuk menjual hasil pertaniannya ke koperasi atau ke pihak lain (side selling), baik dilakukan secara terang-terangan atau ā€œbersembunyiā€. Alhasil, koperasi hanya berperan sebagai pengepul dengan harga komoditas mengikuti harga pasar. Disamping itu, anggota hanya diwajibkan untuk membayar Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib yang jumlahnya kecil, yang tentunya tidak cukup untuk bisa investasi ke proses pengolahan. Mungkin hanya cukup untuk mendanai operasional koperasi yang rutin dilakukan seperti rapat bulanan dan atau rapat anggota tahunan.

TerkaitĀ pembagian dividenĀ (SHU), NGC menerapkan sistemĀ patronage refundĀ yang ketat, tidak seperti kebanyakan TC di Indonesia, yang SHU dibagi merata ke seluruh anggota. NGC mendistribusikan dividen berdasarkan transaksi yang dilakukan anggota dengan koperasi, jadi tiap anggota mendapatkan jumlah yang berbeda (tidak sama rata). Contoh, Pabrik Beras XYZ; Petani A memiliki SHK atas 2 Ha lahannya, telah menyetor beras 16 ton/tahun ke koperasi, ia akan mendapatkan dividen yang berbeda dengan Petani B yang menyetor hanya 8 ton/tahun.

Dengan adanya sistem SHK seperti ini, pabrik milik koperasi dapat menjamin kualitas dan kuantitas pasokannya sesuai dengan syarat dan kapasitas yang telah ditentukan. Selain itu menghindari praktekĀ side sellingĀ oleh anggota, dengan alasan pihak lain dapat memberikan harga lebih baik dari koperasi. Oleh karena itu, kontrak ini juga diikuti sejumlah hak yang dapat diterima oleh petani anggota, seperti harga gabah yang stabil sepanjang tahun, akses terhadap sarana produksi pertanian, akses mendapatkan modal kerja, asuransi pertanian dan sebagainya. Sama halnya dengan kewajiban, hak juga ditentukan berdasarkan persetujuan koperasi dan perhitungan bisnis yang jelas.

Kategori lain yang membedakan TC dan NGC adalahĀ investasi anggotaĀ dalam usaha koperasi. Dalam TC, investasi awal anggota cenderung kecil, sedangkan dalam NGC investasi jumlahnya signifikan sesuai dengan total investasi usaha bersama yang disepakati anggota untuk mengolah hasil pertaniannya. Contohnya di Indonesia, mayoritas koperasi yang masih TC memiliki kebijakan simpanan pokok dan wajib yang sangat rendah, biasanya nominalnya tidak berdasarkan rencana usaha yang jelas. Misal, simpanan wajib Rp 20.000/bln.

Nilai yang kecil ini tidak akan mampu mendirikan pabrik pengolahan produk pertanian anggotanya. Berbeda halnya dengan NGC, simpanan pokok mungkin dapat ditetapkan jumlahnya tidak besar, hanya sebagai prasyarat keanggotaan. Sedangkan simpanan wajibnya ditetapkan berdasarkan total investasi usaha bersama anggota koperasinya, misal untuk mendirikan pabrik pengolahan. Hal ini dibayarkan tidak setiap bulan, namun dalam kesepakatan yang logis sesuai dengan rencana usaha yang jelas dan terukur.

Yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah tata kelola organisasi dan bisnis. Dalam praktiknya TC berkiblat pada satu prinsipĀ one man one voteĀ dalam pengambilan keputusan dan pemilihan pengurus koperasi. Disamping itu, TC tidak begitu memberikan perhatian pada besar kecilnya transaksi anggota dengan koperasi, tetap pada pola satu anggota satu suara.

Sedikit berbeda dengan NGC, dalam praktiknya NGC tetap menggunakanĀ one man one voteĀ pada tata kelola organisasi, semisal memilih pengurus koperasi. Namun, NGC memperhatikan besarnya transaksi anggota dalam bentuk SHK, untuk keputusan usaha koperasi disesuaikan dengan jumlah SHK anggota, sehingga tidakĀ one man one vote. Singkatnya, NGC membedakan pengambilan suara dan keputusan dalam tata kelola organisasi dan manajemen bisnis yang dijalankan.

Ada banyak kategori spesifik lainnya untuk membedakan NGC (Koperasi Kontemporer) dengan TC (Koperasi Tradisional), terutama terkait peran dan relasi anggota dalam bisnis/usaha koperasi. Di lapangan tidak sulit membedakan koperasi TC atau NGC, untuk Indonesia cukup dengan melihat usaha yang dijalankan koperasi (barang mentah atau olahan), jumlah simpanan wajib anggota (kecil atau signifikan), dan cara pembagian dividen usaha (SHU) terhadap rencana bisnis koperasi. []

Hak Asal Usul Pendiri Koperasi
Apa, Mengapa dan Bagaimana New Generation Cooperative, ICCI Bedah di Webinar

Comment(1)

  1. Reply
    comment Kak Wahyu says

    Ada beberapa persamaan seperti di Koperasi Mahasiswa UNY ini,
    Bagus tulisannya šŸ‘šŸ“ø

Post a comment