Setelah melalui serangkaian proses perumusan, akhirnya 17 November 2021 ini Peraturan Menteri Koperasi tentang koperasi multi pihak terbit. Permen ini menjadi tonggak baru bagi pengembangan koperasi di Indonesia. Seperti kita ketahui, model multi pihak ini dapat dikembangkan di berbagai sektor, fleksibel pada berbagai model bisnis khususnya model collaborative economy atau sharing economy.
Tentu saja kehadiran Permen ini juga menarik bagi para pelaku startup tanah air. Di mana ketika menggunakan model koperasi konvensional, cenderung disinsentif bagi peran kepeloporan dari pada Founder dan Co-Founder. Padahal mereka adalah para entrepreneur yang pada fase inisiasi awal telah mengeluarkan biaya kewirausahaan besar. Biaya itu termasuk ide, energi, sumberdaya, aset, jaringan, visi, mimpi dan juga berbagai resiko yang ditanggung.
Dengan model multi pihak, hal tersebut dapat diatur sehingga para pelopor koperasi memperoleh insentif secara ekonomi dan politik pantas. “Mereka dapat saja mengatur adanya Hak Cipta atas inisiatif koperasi yang melekat pada kelompok Founder. Yang karenanya dapat diberikan royalti dari persentase pembagian SHU. Itu insentif ekonomi. Secara politik, keberadaan mereka tak akan terdilusi dengan masuknya kelompok atau anggota-anggota baru lainnya. Sehingga visi serta tujuan awal pendirian koperasi dapat terjaga sesuai dengan apa yang dulu dicita-citakan para Founder”, kata Firdaus Putra, HC., Ketua Komite Eksekutif ICCI.
Meski model koperasi multi pihak ini baru di Indonesia, praktiknya telah berkembang massif di luar negeri sejak tahun 1990an. Bahkan sebenarnya bila kita tengok sejarahnya, model ini telah ada pada tahun 1870 pada koperasi Hebden Bridge di Inggris. Koperasi Hebden ini merupakan koperasi produksi pemintalan kapas. Sampai tahun tertentu mereka mengalami kemunduran secara bisnis, kemudian pada akhir tahun 1871 mereka mengonversi keanggotaannya menjadi multi pihak dengan melibatkan kelompok investor dan konsumen. Pasca konversi, pertumbuhan mereka langsung naik signifikan.
Artinya koperasi multi pihak dapat diinisiasi dari koperasi baru sama sekali atau konversi dari koperasi eksisting. Yang utama menjadi perhatian adalah kelompok mana saja yang perlu dilibatkan sebagai basis anggota sesuai dengan rantai nilai pada industri/ bisnis yang dikerjakannya. Permen di atas juga telah mengatur proses pendirian koperasi multi pihak baru sama sekali atau konversi dari yang sudah ada.
“Saya kira Permen itu meski hanya terdiri dari 18 pasal sudah efektif dalam merekognisi dan meregulasi koperasi multi pihak di Indonesia. Dengan adanya payung hukum ini kepastian hukum terjaga, kemudian Pemerintah juga pasti akan menyosialisasikan model ini secara luas. Ya hukum atau aturan itu memang punya efek social engineering. Sampai saat ini sedikitnya sudah ada lima orang/ pihak yang konsultasi ke kami bagaimana cara mendirikan koperasi model baru ini”, lanjutnya.
Sebagai model baru, tentu butuh waktu untuk mencari bentuk dan pola seperti apa yang sesuai dan tepat. Misalnya pada pengaturan proportional voting right, yang di beberapa kajian di negara lain juga tak menyertakan rumus pastinya. Hal ini tentu saja dikembalikan kepada koperasi masing-masing untuk berkreasi dan melakukan eksperimentasi pengaturan seperti apa yang memuaskan para pihak di dalamnya. Fungsi Anggaran Dasar sebagai statuta organisasi akan sangat penting bagi regulasi internal di koperasi semacam ini.
Meski tidak ada rumus pasti, beberapa kajian dari para sarjana, dapat ditarik benang merah terkait parameter tersebut, sebagai berikut: 1). Tidak ada kelompok yang dominan (artinya tidak ada kelompok yang menguasai suara lebih dari 50%); 2). Kelompok yang berperan dalam back bone bisnis dapat memperoleh persentase voting lebih besar daripada yang lain; 3). Kelompok pendukung dan lingkaran terluar tetap memperoleh persentase suara meski lebih kecil dari yang lain; 4). Persentase voting tidak sama dengan persentase pembagian deviden atau SHU; 5). Kelompok investor diberikan suara tidak lebih besar daripada kelompok back bone bisnis; 6). Persentase suara dapat mempertimbangkan beberapa variabel: orang, modal, teritori, peran dan lain sebagainya.
Hal di atas dapat menjadi parameter untuk merumuskan voting right yang polanya berbeda dengan koperasi konvensional. Meski demikian, koperasi bisa saja membuat mekanisme yang berbeda sama sekali sejauh disepakati para pihak. Hal itu misalnya pada koperasi Stocksy (platform coop) yang pengambilan keputusan yang cukup panjang dengan memberikan penekanan pada peran artis/ kreator. Namun pada koperasi lain, seperti Equal Care Coop, Ecological Land Coop dan lain sebagainya menggunakan model proportional voting. Dapat disimpulkan, mekanisme itu dikembalikan kepada masing-masing koperasi untuk mengaturnya.
Lebih penting juga selain soal voting right, koperasi multi pihak harus benar-benar bisa mengoptimalkan aneka modalitas yang dimiliki para pihak untuk mengungkit bisnis koperasi. Dengan memberikan ruang peran yang jelas kepada masing-masing pihak, hal tersebut harusnya menjadi keunggulan model ini dibanding model konvensional yang selama ini berkembang di masyarakat. Sehingga berbagai sektor bisnis dapat diakselerasi dengan model ini. Misalnya pada sektor pertanian, koperasi multi pihak dapat mengolaborasi petani, pengolah, pengepul, entrepreneur/ inovator, investor dan bahkan konsumen. Yang pada model konvensional, masing-masing kelompok berdiri sendiri-sendiri.
Mengonsolidasi semua kelompok itu tentu sangat menantang. Sebabnya kita harus mampu menawarkan value proposition yang tepat di mana transparansi pada semua rantai nilai itu tetap dapat menjamin keuntungan yang wajar bagi masing-masing pihak. “Harus ada insentif ekonomi atau disinsentif yang nyata sehingga para pihak akan melihat konsolidasi itu menjadi rasional dilakukan. Tidak ada masalah transparan pada keuntungan di tiap titik rantai nilai, bila dengan bersama-sama itu kue ekonomi yang mereka ciptakan lebih besar daripada berdiri sendiri-sendiri” tambahnya. []