Oleh: Firdaus Putra, HC.

Dalam bukunya, “Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045, Indonesia Menjadi Negara Maju dan Makmur”, Presiden Terpilih Prabowo Subianto menguraikan rancangan besar bagaimana membangun Indonesia ke depan. Buku dan gagasan-gagasan kunci itu beredar luas dan didiskusikan berbagai kalangan. Spektrum isunya sangat luas, salah satunya soal koperasi di Tanah Air.

Tak mengherankan bila koperasi menjadi salah satu topik utama. Sebab dalam apa yang disebut sebagai Asta Cita atau 8 butir cita-cita, koperasi salah satunya. Pada butir ketiga, Prabowo menulis, “Melanjutkan pengembangan infrastruktur dan meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif serta mengembangkan agro-maritim industri di sentra produksi melalui peran aktif koperasi”.

Dalam butir ketiga itu, Prabowo membawa koperasi ke dalam medan pembangunan nasional dengan amplitudo yang luas. Dalam pandangannya, koperasi harus berperan aktif pada beberapa sektor di atas sebagai kunci pembangunan ekonomi. Mengapa Presiden Terpilih memiliki pendangan semacam itu? Dan bagaimana kemungkinan mewujudkannya?

Asas Benar

Dalam visinya, koperasi merupakan alat pemerataan dan swasembada. Seperti yang ia nyatakan, “Koperasi adalah alat pemerataan. Koperasi adalah alat untuk memperkuat yang lemah. Karena itu, peran koperasi dalam ekonomi kita harus digalakkan lagi”. Sangat benar, operating system koperasi memungkinkan pemerataan dilakukan melalui skema kepemilikan bersama (co-ownership). Turunan dari kepemilikan bersama itu adalah bagaimana hasil usaha didistribusikan secara adil.

Di sub bab koperasi, Prabowo memberi contoh, “Saya mau bicara soal produksi dan distribusi pupuk. Pupuk dibuat oleh pabrik milik negara. Yang bikin pabrik pupuk itu uang rakyat. Modal kerjanya uang rakyat. Tapi, begitu pupuk dihasilkan, dan didistribusi, distributornya perusahaan swasta. Kalau zaman Orde Baru, tidak. Yang distribusi pupuk adalah koperasi, koperasi unit desa (KUD)”.

Masih menurutnya, “Jadi, kita harus kembali ke fundamental, ke asas-asas yang benar. Ini barang rakyat, pabrik rakyat, dibangun dengan uang rakyat, modal kerja dari APBN, uang rakyat. Distribusinya harus juga oleh rakyat. Yaitu melalui koperasi dan melalui Pemerintah kalau perlu”. Dan pada aliena berikutnya, Prabowo menulis, “Selain jadi alat pemerataan, koperasi juga bisa jadi motor swasembada pangan kita. Namun untuk itu harus ada pengerahan, tenaga, pikiran, usaha yang sangat sungguh-sungguh”.

Ihwal produksi dan distribusi pupuk hanya contoh, bagaimana pergerakan ekonomi rakyat, berpusat pada koperasi. Sebagai formula, hal itu terbukti sukses di banyak negara. Yang terdekat di Jepang, Korea Selatan, India, Singapore, Thailand dan Vietnam. Artinya, bila koperasi belum maju di Indonesia, yang salah bukan formulanya. Namun implementasi berikut ekosistem pendukungnya. Arahan Presiden Terpilih tepat, “kita harus digalakkan lagi”.

Target Besar

Lantas bagaimana mewujudkan asas yang benar itu? Bappenas sedang berproses membuat rancangan teknokratik melalui RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029. Ada yang baru, di mana indikator pembangunan koperasi berubah dari kontribusi koperasi terhadap PDB menjadi rasio volume usaha koperasi terhadap PDB. Hal itu dilakukan agar capaiannya dapat diukur secara transparan dan reliabel. Polanya mengikuti apa yang dilakukan PBB (2014) dan World Cooperative Monitor (WCM). Pada RPJPN mendatang ditargetkan rasio volume usaha koperasi meningkat 5 persen dari baseline 1,01 persen (2022).

Bila RPJPN itu dibagi dalam empat RPJMN, maka per periode target kenaikannya sebesar 1 persen. Atau 0,2 persen per tahunnya. Dari sisi persentase, terlihat kecil. Namun dari sisi angka, itu sama dengan kenaikan puluhan dan bahkan ratusan triliun rupiah. Sebagian ahli melihat target itu terlalu ambisius.

Namun bukankah kita perlu berpikir besar untuk 20 tahun mendatang? Bagaimana membayangkan Indonesia memiliki koperasi-koperasi raksasa seperti di Jepang, Korea Selatan, dan negara lainnya. Sebagai gambaran, 4 volume usaha koperasi di Jepang setara dengan 3,57 persen PDB mereka. Kemudian 22 koperasi di Korea Selatan memiliki rasio volume usaha sebesar 5,36 persen terhadap PDB (WCM, 2022).

Tentu kita semua bermimpi memiliki koperasi kelas dunia sebesar Zen Noh di Jepang atau Nong Hyup di Korea Selatan. Saya rasa, Pak Prabowo juga membayangkan hal yang sama ketika menetapkan asta cita ketiga. Namun bila dirasa angka itu masih terlalu ambisius, boleh lah kita rujuk rata-rata Asia, sebesar 3,25 persen atau rata-rata global yakni 4,30 persen (PBB, 2014).

Yang pasti menggunakan target rata-rata Asia atau global, tetap membutuhkan upaya besar untuk mencapainya. Karenanya, dibutuhkan langkah-langkah besar, suatu transformasi besar-besaran untuk kembali menghidupkan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945. Saya pikir Presiden Terpilih telah membuka jalannya!

Langkah Besar

Agar koperasi dapat berperan aktif dalam pengembangan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, kewirausahaan, industri kreatif serta agro-maritim, dibutuhkan beberapa langkah besar. Suatu kerja luar biasa (extra ordinary) yang menyaratkan political will yang kuat dan determinasi yang tinggi.

Koperasi di Jepang dan Korea Selatan maju karena memiliki UU Perkoperasian di masing-masing sektor. Seperti UU Koperasi Pertanian, UU Koperasi Perikanan, UU Koperasi Kehutanan, UU Koperasi Simpan Pinjam dan sebagainya. Sehingga pengembangan koperasi diserahkan pada instansi sektoralnya masing-masing. Koperasi Pertanian di bawah Kementerian Pertanian dan seterusnya.

Rezim regulasi mereka lex specialis, berbeda dengan Indonesia yang lex generalis. Bila hal itu sulit dilakukan karena beda rezim hukum, maka yang bisa dilakukan Presiden mendatang adalah mengubah status Kementerian Koperasi dari level 3 menjadi level 2. Adalah sulit membangun suatu koperasi besar di industri agro-maritim, bila Kementerian Koperasi tak dapat mengoordinasi Kementerian Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Perindustrian dan Perdagangan.

Bila masih dengan status sekarang, koordinasi, konsolidasi dan sinergi tak akan efektif. Bagaimana pun silo-silo dan ego sektoral antarkementerian masih menjadi masalah di negeri ini. Program yang bagus kadang tak efektif diimplementasi karena jebakan silo-silo tersebut.  Efektivitas tersebut dapat diperkuat dengan payung regulasi yang cukup. Misalnya Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, yang memungkinkan koordinasi antarkementerian dapat dilakukan dengan baik pada suatu proyek strategis tertentu.

Selanjutnya soal permodalan dan pembiayaan yang selalu menjadi isu bagi koperasi. Ditambah pengembangan industri agro-maritim membutuhkan modal yang cukup besar. Sehingga kita sangat perlu memperkuat peran Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Penguatan itu dilakukan dalam beberapa hal.

Pertama, kapasitas pembiayaan LPDB ke koperasi perlu ditingkatkan 5-7 kali dari kapasitas saat ini sebesar 2 triliun rupiah. Hal itu relevan untuk mengejar gap rasio pertumbuhan antara volume usaha koperasi terhadap PDB. Dengan kapasitas meningkat, LPDB dapat membiayai koperasi untuk membangun pabrik-pabrik agro-maritim dengan biaya murah. Secara jangka panjang modal anggota serta produktivitas usaha dapat mengembalikan pinjaman tersebut.

Kedua, mendesain ulang LPDB menjadi Development Finance Institution (DFI). Dengan model DFI, LPDB dapat membiayai proyek-proyek strategis Pemerintah. Tak seperti perbankan yang hanya fokus pada sukses penyaluran, LPDB mendatang harus berperan bagaimana mendampingi debitur sukses usahanya. Dengan DFI, LPDB akan lebih mampu mengawal agenda pembangunan di atas.

Selain upaya struktural kementerian/ lembaga, peran Pemerintah Daerah juga harus diarahkan. Ada contoh bagus seperti Kab. Sigi, di mana Pemda setempat melakukan penyertaan modal kepada koperasi sektor produksi pertanian. Agar daya dukung Pemda efektif, suatu regulasi yang mengatur Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) perlu ditetapkan. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) Pengembangan Koperasi Industri Agro-Maritim, yang didalamnya mengatur NSPK tersebut.

Pada sisi lain, untuk mengungkit kinerja birokrasi mendatang, nampaknya perlu sekali melibatkan International Development Agency. World Bank, JICA, CCA, Agriterra, PUM, HIVOS, GIZ, ILO dan sebagainya. Tiap lembaga dapat menawarkan skema/ model pengembangan dengan kepakaran serta teknologi masing-masing. Hal itu selaras dengan seruan PBB pada International Year of Cooperative 2025 mendatang.

Sebagai penutup kutipan ini perlu kita hayati, “Kita tidak bisa anggap ini (baca: menjadikan koperasi alat pemerataan dan swasembada) adalah pekerjaan biasa. Ini bukan pekerjaan biasa. Kita harus anggap ini sebagai suatu usaha nasional”. Arah dan kebijakan telah digariskan Presiden Terpilih. Lepas Oktober mendatang, tinggal kita tunggu siapa Menteri yang akan mengawal kerja maha besar itu. Itulah sebab Pak Prabowo tak boleh keliru memilih Menteri Koperasi. Mari kita doakan agar beliau tak salah pilih! []

 

Sebelumnya telah dimuat di: https://money.kompas.com/read/2024/06/05/073000026/asta-cita-ketiga-prabowo-koperasi-alat-pemerataan-dan-swasembada