Oleh: Firdaus Putra, HC.
Berdasar UU yang berlaku, No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, modal di koperasi terdiri dari Simpanan Pokok (SP), Simpanan Wajib (SW), Cadangan dan Hibah. Simpanan Pokok merupakan setoran modal yang dibayarkan sekali ketika seseorang menjadi anggota, yang besarnya sama antara satu dengan anggota lain. Sedangkan Simpanan Wajib merupakan setoran modal yang dibayarkan dalam waktu tertentu yang besarnya tidak harus sama antara satu dengan anggota lain. Lalu Cadangan, merupakan hasil penyisihan dari Sisa Hasil Usaha (SHU), kaprahnya sebesar 20%. Kemudian Hibah, merupakan pemberian dari pihak manapun kepada koperasi.
Pada koperasi yang baru terbentuk biasanya modal yang dapat dikonsolidasi adalah SP dan SW. Pada beberapa kasus ada koperasi yang menerima hibah dari pihak tertentu yang menyeponsori pendirian suatu koperasi. Dengan mengesampingkan hibah, artinya modal dasar pendirian koperasi umumnya terdiri dari SP dan SW saja. Perbandingan keduanya sebagai berikut:
Aspek | Simpanan Pokok | Simpanan Wajib |
Pengertian | Simpanan yang dibayarkan oleh anggota saat pertama kali bergabung menjadi anggota koperasi. | Simpanan dibayarkan oleh anggota dalam waktu dan kesempatan tertentu. |
Frekuensi | Dibayarkan sekali saja saat menjadi anggota. | Dibayarkan secara berkala selama masih menjadi anggota. |
Jumlah | Jumlahnya sama untuk setiap anggota. | Jumlahnya tidak harus sama antar anggota. |
Pengembalian | Tidak dapat diambil kembali selama masih menjadi anggota, kecuali anggota mengundurkan diri. Biasanya ada tenggat waktu pengembalian setelah keluar. | Tidak dapat diambil kembali selama masih menjadi anggota, kecuali anggota mengundurkan diri. Biasanya ada tenggat waktu pengembalian setelah keluar. |
Fungsi | Sebagai tanda keanggotaan dan bagian dari modal awal koperasi. | Untuk memperkuat modal koperasi secara berkelanjutan dan mendukung operasional. |
Dasar Hukum | Pasal 41 ayat (2) UU No. 25 Tahun 1992, dijelaskan sebagai bagian modal sendiri. | Pasal 41 ayat (2) UU No. 25 Tahun 1992, dijelaskan sebagai bagian modal sendiri. |
Sumber: Diolah Penulis
Setelah mengetahui perbedaan antara SP dan SW sebagai modal di koperasi, lantas bagaimana cara menentukannya? Di beberapa forum pelatihan/ lokakarya, saya sering lempar pertanyaan ke peserta, “Berapa nominal SP/ SW di koperasi bapak/ ibu?” Ada yang menjawab Rp50.000, Rp10.000 atau lebih kecil lagi, Rp5.000. Lebih lanjut saya tanya, “Bagaimana cara bapak/ ibu dulu menentukan nominal tersebut? Mengapa Rp50.000 atau Rp5.000?” Secara umum mereka menjawab karena nominal itu dirasa paling terjangkau oleh semua anggota. Cara ini tidak keliru, namun belum tentu tepat.
Sebenarnya menentukan besaran partisipasi modal di koperasi sama seperti patungan modal pada perusahaan atau usaha lain. Di mana biasanya orang-orang yang mendirikan perusahaan atau usaha bersama telah mengetahui kebutuhan modal mereka. Bayangkan ada 10 orang yang mendirikan satu perusahaan bersama lalu mereka masing-masing setor modal sebesar Rp10 juta, totalnya Rp100 juta. Mereka menetapkan Rp10 juta karena sudah memiliki rencana usaha dengan kebutuhan modal sebesar Rp100 juta.
Idealnya begitu juga dengan koperasi. Dimulai dari penyusunan rencana usaha atau prospektus bisnis: usaha apa yang akan dikerjakan, berapa kebutuhan modalnya, berapa proyeksi laba/ ruginya. Dari sana muncullan angka Rp100 juta rupiah sebagai kebutuhan modal awal, misalnya untuk mendirikan pusat pengolahan nanas menjadi selai atau olahan lainnya. Setelah diketahui kebutuhan modalnya, barulah koperasi dapat menentukan partisipasi modal bagi anggota, misalnya per orang Rp1.000.000.
Mari kembali simak perbedaan fungsi antara SP dan SW pada tabel di atas. SP fungsinya sebagai “tanda keanggotaan” dan SW untuk “memperkuat modal”. Sehingga dari dua instrumen tersebut sebenarnya yang ditujukan untuk meningkatkan modal koperasi adalah instrumen SW, sedangkan SP sebagai penanda seseorang menjadi anggota koperasi. Dengan pertimbangkan tersebut, bila menghendaki koperasi dapat dijangkau atau diakses oleh banyak orang, akan lebih baik SP ditentukan dengan nominal yang terjangkau, sebutlah misal Rp20.000. Asumsinya banyak orang bisa membayarnya secara kontan dan pada saat itu tercatat sebagai anggota suatu koperasi.
Lalu bagaimana sebaiknya dengan SW? Perlu diingat fungsi SW adalah untuk memperkuat modal koperasi. Di sinilah koperasi perlu mendesain secara tepat agar kebutuhan modal koperasi dapat dikonsolidasi sesuai kebutuhan dan tepat waktu. Di lapangan ada beberapa pola yang sering digunakan oleh koperasi dalam mengonsolidasi SW, sebagai berikut:
Pertama, SW dibayarkan secara rutin dengan nominal yang sama bagi seluruh anggota, misal Rp10 ribu/ bulan. Pola ini biasanya digunakan oleh Koperasi Simpan Pinjam (KSP), yang bertujuan untuk membangun disiplin anggota. Misalnya, satu bulan sekali mereka menyetor tabungan, membayar angsuran/ cicilan sekaligus menyetor SW. Sebut misalnya, Rp. 100 ribu untuk tabunga, Rp200 ribu untuk cicilan dan Rp50 ribu untuk SW. Dengan cara begitu anggota cenderung disiplin memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Kedua, SW dibayarkan secara secara rutin, yakni bulanan dengan pilihan nominal yang telah ditentukan oleh koperasi. Misalnya, Rp50 ribu/ bulan, Rp100 ribu/ bulan Rp500 ribu/ bulan. Biasanya koperasi akan memberikan variasi layanan sesuai dengan nominal SW mereka sebagai bentuk paket keanggotaan. Bayangkan anggota silver, gold dan titanium, atau penyebutan istilah lainnya. Tujuannya untuk membuka peluang partisipasi modal lebih besar sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Pola ini menutup sebagian kelemahan pola pertama di atas, di mana anggota yang mampu tetap berpartisipasi Rp50 ribu, padahal mereka bisa saja berpartisipasi sampai Rp500 ribu.
Ketiga, SW dibayarkan secara berkala dengan ketentuan minimal SW. Misalnya, koperasi memiliki rencana usaha sebesar Rp100 juta, lalu koperasi menentukan bahwa setiap anggota wajib menyetor modal sebesar Rp500 ribu. Bagi yang mampu, mereka dapat menyetor Rp1 juta bahkan sampai Rp10 juta. Pola ini tujuannya untuk mengakselerasi konsolidasi modal, misalnya ditujukan untuk membangun pusat pengolahan. Pola ini biasanya diikuti dengan batas waktu penyetoran, misal maksimal 6 bulan. Koperasi yang berorientasi produksi atau pengolahan yang membutuhkan sejumlah modal dengan waktu tertentu, lebih tepat menggunakan pola ini. Setelah koperasi menerima Rp100 juta, anggota tidak akan ditarik SW kembali pada bulan/ tahun berikutnya sampai koperasi membutuhkan kembali penambahan modal, misal untuk menambah unit pusat pengolahan, perluasan usaha dan sebagainya.
Keempat, SW ditentukan berdasar satuan tertentu. Prinsip kerjanya sama dengan pola ketiga, bedanya SW akan dinyatakan dalam satuan tertentu misal unit atau lembar. Sehingga dari Rp100 juta akan dipecah menjadi misalnya 10 ribu lembar dengan nilai Rp10 ribu/ lembar. Lalu ditentukan tingkat partisipasi minimal anggota, misalnya setiap anggota memiliki minimal 100 lembar atau sama dengan Rp1 juta. Anggota yang lebih mampu bisa mengambil lebih banyak, misal 1000 atau 5000 lembar dan sebagainya. Bila khawatir akan terjadi dominasi oleh anggota tertentu, dapat diatur juga dalam Anggaran Rumah Tangga untuk pola ketiga dan keempat, bahwa setiap orang anggota maksimal menyetor 20% dari modal.
Kelima, campuran antara pola pertama dengan ketiga atau keempat. Misalnya, koperasi menentukan adanya SW Umum yang berlaku dengan nominal sama bagi seluruh anggota dan dibayar secara rutin. Pada sisi lain koperasi juga menentukan adanya SW Khusus dengan skema pola ketiga atau keempat. Kasusnya misal, SW Umum digunakan untuk memenuhi modal kerja, sedangkan SW Khusus digunakan untuk mencukupi kebutuhan investasi, sebutlah untuk pembangunan infrastruktur koperasi.
Pola | Deskripsi | Frekuensi | Nominal | Tujuan | Kelebihan | Kelemahan |
Pola 1 | SW dibayarkan rutin dengan nominal sama untuk semua anggota. | Bulanan/ rutin | Tetap (misal Rp10.000/ bulan) | Membangun disiplin anggota dan konsistensi modal. | Mendorong disiplin anggota, sederhana, mudah diterapkan. | Tidak mengakomodasi kemampuan finansial anggota yang lebih besar. |
Pola 2 | SW dibayarkan rutin dengan pilihan nominal yang telah ditentukan. | Bulanan/ rutin | Bervariasi (misal Rp50.000, Rp100.000, Rp500.000/ bulan) | Memberikan variasi layanan sesuai kemampuan anggota. | Mengakomodasi kemampuan finansial berbeda, meningkatkan partisipasi modal. | Memerlukan pengelolaan layanan yang lebih kompleks. |
Pola 3 | SW dibayarkan berkala dengan ketentuan minimal. | Sekali atau dalam waktu tertentu | Ditentukan minimal (misal Rp500.000) | Mengakselerasi konsolidasi modal untuk kebutuhan tertentu. | Cepat memenuhi kebutuhan modal besar, fleksibel untuk anggota mampu. | Tidak rutin, memerlukan perencanaan matang. |
Pola 4 | SW ditentukan berdasarkan satuan (unit/lembar) dengan minimal partisipasi. | Sekali atau dalam waktu tertentu | Dalam satuan (misal Rp10.000/ lembar, minimal 100 lembar = Rp1 juta) | Mengakselerasi modal dengan skema yang terukur, mencegah dominasi. | Terstruktur, mudah dipahami, dapat batasi dominasi anggota (misal maks 20% modal). | Memerlukan aturan jelas dalam Anggaran Rumah Tangga. |
Pola 5 | Kombinasi Pola 1 dengan Pola 3 atau 4 (SW Umum + SW Khusus). | Rutin (SW Umum) + berkala (SW Khusus) | SW Umum tetap, SW Khusus bervariasi sesuai kebutuhan | Memenuhi modal kerja (SW Umum) dan investasi (SW Khusus). | Fleksibel, mendukung kebutuhan operasional dan investasi. | Kompleksitas pengelolaan lebih tinggi. |
Sumber: Diolah Penulis
Beberapa pola di atas dapat digunakan oleh koperasi sesuai dengan usaha yang akan mereka selenggarakan, corak anggota mereka, kebutuhan modal (seketika atau rutin) dan kondisi lainnya. Sangat terbuka peluang bagi koperasi yang awalnya menggunakan Pola 1 kemudian berubah ke Pola 2, 3, 4 atau 5 sejauh ditetapkan dalam Rapat Anggota dan diatur kembali dalam Anggaran Rumah Tangga mereka.
Yang paling penting adalah koperasi harus mengetahui kebutuhan modal mereka sehingga perlu disusun rencana usaha yang akan dikerjakan. Tanpa rencana usaha, menentukan menggunakan Pola 1-5, sama halnya seperti orang buta yang berjalan tanpa arah. Rencana usaha akan memberi arah yang terang tentang sebenarnya berapa modal yang dibutuhkan, akan digunakan untuk apa saja modal tersebut, kapan waktu pemenuhannya dan seterusnya. Bagaimana dengan koperasimu? Akan gunakan pola 1, 2, 3, 4 atau 5? []
Post a comment