Oleh: Firdaus Putra, HC.
Bulan April 2024 ini menandai dua tahun efektif berlakunya Permen No. 8 Tahun 2021 tentang Koperasi dengan Model Multi Pihak. Saat ini tercatat sudah ada 144 Koperasi Multi Pihak (KMP) resmi berdiri (ODS Kemenkop, April 2024). Sebagian besar merupakan pendirian baru dan hanya 15 koperasi adalah konversi dari model konvensional. Bila di rata-rata sedikitnya 70 KMP berdiri setiap tahun yang tersebar di berbagai kabupaten/ kota.
Capaian tersebut mengisyaratkan KMP relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dari jumlah itu, 32 persen berjenis produksi, 26 persen jasa dan 24 persen konsumsi, sisanya adalah pemasaran. Sektor produksi khususnya pertanian cukup dominan dari pada usaha lainnya. Kemudian dari segi wilayah, KMP tersebut berdiri di beberapa provinsi, yang paling banyak di Jawa Barat 22 persen. Kemudian 14 persen tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lalu 10 persen di Jakarta, Kalimantan serta Nusa Tenggara masing-masing 8 persen. Kemudian ada 9 persen di Sumatera dan sisanya tersebar di Bali, Banten, DIY, Gorontalo, Jambi, Babel, Kepri, Lampung, Maluku, Riau dan Sulawesi.
Hal itu menunjukkan difusi KMP terjadi cukup merata di beberapa regional tanah air. Difusi cepat terjadi karena dukungan banyak pihak, seperti Kementerian Koperasi dan UKM yang gencar lakukan sosialisasi. Tidak ketinggalan adalah dukungan dinas-dinas koperasi yang memperkenalkan KMP di daerahnya masing-masing.
Dukungan lainnya dari Notaris Pembuat Akta Koperasi (NPAK) yang mampu memproses pendirian atau perubahan badan hukum dengan model multi pihak. Sebab di lapangan proses teknis bagaimana suatu koperasi menjadi multi pihak atau tidak, difasilitasi oleh Notaris melalui pengaturan ketentuan-ketentuan dalam Anggaran Dasar. Meski demikian nampaknya belum semua NPAK memahami, sebab dari 144 ditemukan 7 di antaranya berjenis simpan pinjam yang dikecualikan oleh Permen No. 8/ 2021 di atas.
Early Adopters
KMP sebagai model baru merupakan suatu bentuk inovasi organisasi. Dalam teori inovasi dikenal proses difusi dan adopsi. Difusi adalah bagaimana suatu inovasi disebarluaskan melalui berbagai sarana dan kanal. Sedangkan adopsi adalah bagaimana inovasi tersebut diterima dan digunakan oleh masyarakat. Pada fase adopsi, Geoffrey Moore (1991) membagi ada lima kelompok adopter dengan karakteristik berbeda, sebagai berikut.
Innovators, merupakan kelompok yang melihat inovasi sebagai suatu kebaruan, potensial memberikan manfaat serta mereka terdorong untuk mengadopsinya sebagai yang pertama. KMP sesungguhnya bukan model yang sama sekali baru, namun baru bagi Indonesia. Kelompok innovators mengadopsi gagasan serta praktika KMP dunia yang berkembang sejak tahun 1990an dan dibawa ke Indonesia. Dalam hal ini Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI), Kementerian Koperasi dan UKM serta dinas dapat dikategorikan ke dalam kelompok ini. Bagaimana pun tanpa dukungan regulasi, KMP tidak akan dikenal dan berkembang seperti sekarang.
Kelompok berikutnya adalah Early Adopters. Kelompok ini melakukan adopsi karena melihat nilai tertentu terkandung dalam suatu inovasi yang relevan bagi mereka. Kelompok ini tergolong para visioner yang melihat kemungkinan peluang baru, peluang akselerasi serta pertumbuhan melalui suatu inovasi. Mereka dikatakan visioner sebab mereka belum melihat bukti apakah inovasi tersebut efektif bekerja atau tidak.
Dalam konteks itu, sampai lima tahun mendatang KMP-KMP yang lahir di Indonesia dapat dikategorikan sebagai early adopters. Mereka berani menyoba hal baru meski belum melihat bukti nyata. Mereka berani bertaruh terhadap visi atau mimpi tertentu ketika mengimplementasikan model ini. Sebagian para early adopters ini akan menjadi role model di Indonesia dan sebagian yang lain, boleh jadi, gagal.
Ketiga adalah Early Majority, merupakan kelompok yang melihat inovasi secara kalkulatif, untung-rugi, mudah-sulit, tersedia dukungan atau tidak dan sebagainya. Mereka tergolong para pragmatis yang akan menggunakan inovasi ketika sudah terbukti berhasil. Mereka akan menghitung segala biaya (risiko, kurva pembelajaran, sumber daya, kapasitas/ kapabilitas organisais dan sebagainya) berbading dengan manfaatnya. KMP-KMP yang lahir mulai tahun ke-6 sampai ke-10 dapat dikelompokkan sebagai early majority. Prinsipnya, mereka menggunakan model ini setelah melihat berhasil-tidaknya para early adopters.
Keempat, Late Majority merupakan kelompok yang pada awalnya skeptis namun tetap mengamati bagaimana inovasi diadopsi oleh pihak lain. Mereka menunggu berbagai contoh sukses untuk menghilangkan keraguan tersebut. Mereka masih terbuka pada kebaruan, namun mereka membutuhkan bukti untuk menghapus keraguan. Berbeda dengan kelompok terakhir adalah Laggards, yakni kelompok yang ragu terhadap semua hal baru dan terbiasa dengan apa yang sudah mereka lakukan selama ini. Bagi mereka apa yang sudah dikerjakan saat ini dan terbukti berhasil adalah cukup dan tidak merasa perlu untuk mengadopsi inovasi apapun.
Memperhatikan fase adopsi di atas, keberadaan kelompok Early Adopters sangat menentukan bagi perkembangan KMP dekade mendatang. Sebab dari para early adopters inilah akan lahir role model KMP yang sudah kontekstual dengan kerangka hukum di Indonesia. Dalam khazanah inovasi dikenal istilah “crossing the chasm”, yakni bagaimana suatu inovasi harus mampu “melompati jurang” di antara early adopters dan early majority. Bila gagal lompat, maka KMP tidak akan sampai ke kelompok early majority dan late majority yang masing-masing jumlahnya 34% dari populasi.
Crossing the Chasm
Agar dapat melompati jurang, dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam beberapa hal. Pertama, adalah peningkatan kapasitas bagi para early adopters agar dapat mengelola koperasinya sesuai dengan format ideal KMP. Misalnya bagaimana menyeleraskan antara model bisnis dengan skema keanggotaan multi pihak sehingga model tersebut dapat benar-benar mengungkit perkembangan usaha. Saat ini pada sebagian early adopters dijumpai pengelompokkan anggota yang dirancang tanpa memperhatikan model bisnis, yang mana skema multi pihak bisa menjadi tidak efektif pada koperasi tersebut.
Dalam konteks itu, Kemenkop UKM dapat menerbitkan semacam panduan operasional bagi mereka. Serta menyelenggarakan berbagai FGD yang bertujuan untuk menyerap aspirasi serta berbagai kendala/ kesulitan yang terjadi. Termasuk memberikan nasihat yang relevan sesuai dengan konteks masalah mereka. Bagaimana misalnya menyelanggarakan Rapat Anggota, tantangan pengambilan keputusan, serta pengelolaan anggota yang heterogen dengan multi kepentingan.
Kedua, riset dan pengembangan model. Di sini peran lembaga penelitian serta perguruan tinggi sangat dibutuhkan. Penelitian empiris yang berorientasi pada action research akan sangat membantu mempercepat sistematisasi role model. Sangat penting melakukan riset untuk mengidentifikasi praktik-pratik baik di lapangan agar menjadi contoh baik bagi yang lain. Pada sisi lain, riset bertemakan KMP sangat relevan bagi para akademisi dan peneliti sebab isu ini memiliki derajat novelty yang tinggi.
Saat ini beberapa akademisi yang saya kenal sedang melakukan riset untuk kebutuhan disertasi terkait KMP. Mahasiswa S1 serta S2 juga dapat terlibat dalam mengeksplorasi kebaruan tema ini. Bagaimana misalnya menghubungkan KMP dengan dengan isu circular economy, sharing economy, share value co-creation, supply chain, stakeholder management, stakeholder value creation dan sebagainya. Atau melihat dinamika KMP berdasar sektor semisal pertanian, jasa keuangan, block chain dan lainnya. Tema-tema itu sangat potensial dieksplorasi dalam penulisan makalah, jurnal serta buku yang menambah khazanah perkoperasian di tanah air.
Ketiga, tidak kalah penting adalah dukungan pendampingan pada sisi bisnis. Bagaimana pun koperasi merupakan entitas usaha, yang berhasil-tidaknya, juga dilihat dari aspek bisnisnya. Lembaga inkubator bisnis, lembaga layanan pengembangan bisnis serta para konsultan dapat berperan dalam konteks ini. Dalam riset terbarunya Margaret Lund dan Sonja Novkovic (2023) menemukan, di lapangan anggota suatu KMP lebih peduli terhadap efektif tidaknya usaha koperasi tersebut dari pada isu tata kelola organisasi (multi pihak). Bagi mereka lebih penting apakah benar-benar KMP tersebut usahanya berjalan dan memberi manfaat nyata dari pada soal pengambilan keputusan multi pihak.
Sebagai operating system, kehandalan KMP harus terbukti nyata di lapangan. Bagaimana misalnya skema multi pihak yang kompatibel dengan model bisnis, benar-benar mengungkit capaian usaha koperasi. Juga bagaimana dengan skema multi pihak tersebut, aneka modalitas atau sumber daya dapat dikonsolidasi dengan lebih cepat dan luas untuk mendukung bisnis mereka. Serta bagaimana skema multi pihak dapat benar-benar menjaga distribusi hasil terjadi secara wajar, berkeadilan dan berkelanjutan di antara mereka. Isu-isu tersebut harus bisa dibuktikan secara empiris yang menandai efektivitasnya model ini.
Selain yang khusus itu, dukungan umum lainnya seperti akses pendanaan serta pemasaran juga sangat penting. Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) saya ketahui sudah memfasilitasi pembiayaan ke beberapa KMP di Indonesia. Hal tersebut merupakan peluang bagus dan dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Dengan biaya bunga/ jasa yang jauh lebih rendah dari pada lembaga keuangan lain, pembiayaan LPDB dapat menjadi pengungkit pengembangan koperasi, bagi KMP dan koperasi-koperasi pada umumnya.
Dengan tiga upaya di atas, semoga KMP dapat melompati jurang hingga menjadi new normal bagi masyarakat atau koperasi pada umumnya. Sebagai pembanding, di Kanada pasca KMP diregulasi resmi tahun 1997, beberapa tahun selanjutnya KMP menjadi model yang cukup digemari di sana. Martine Vézina dan Jean-Pierre Girard (2014) mengungkapkan, “In fact, it is estimated that since 2006, more than 60 per cent of new co-operatives choose this status. In some cases, single-stakeholder co-operatives were converted into solidarity co-ops”. Dilihat dari horizon waktu, KMP diadopsi secara massif selang 5 tahun pasca diregulasi resmi.
Hal itu menunjukkan proses adopsi sudah sampai ke tangan early majority. Di mana sudah tersedia role model yang dapat mereka contoh yang dihasilkan dari early adopters di tahap awal. Indonesia saya kira juga akan melalui pathway yang sama, kuncinya terletak pada kesuksesan para early adopters. []
*Ketua Komite Eksekutif ICCI dan Promotor Koperasi Multi Pihak di Indonesia. Artikel ini sebelumnya telah tayang di Kompas.com https://money.kompas.com/read/2024/04/19/132117726/signifikansi-early-adopters-dan-upaya-crossing-the-chasm-koperasi-multi-pihak
Comment(1)-
pingback Koperasi Multi Pihak, Lebih Tepat Tunggal atau Serba Usaha? – INDONESIAN CONSORTIUM FOR COOPERATIVES INNOVATION says
December 4, 2024 at 2:10 pm[…] Koperasi Multi Pihak Early Adopters: https://icci.id/2024/04/20/signifikansi-early-adopters-dan-upaya-crossing-the-chasm-koperasi-multi-p… […]