Oleh: Firdaus Putra, HC.
Prof. Dr. Ramudi Arifin dalam bukunya “Koperasi sebagai Perusahaan” (2013) menegaskan bahwa koperasi hadir untuk meningkatkan posisi tawar anggota terhadap pasar. Untuk itu koperasi melakukan konsolidasi agar tercapai skala ekonomi. Katanya, bila skala ekonomi tak tercapai, masyarakat tak perlu mendirikan koperasi. Cukup bergabung ke koperasi yang sudah ada.
Agenda Koperasi Desa Merah Putih atau Kopdes yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, pada 3 Maret 2025 lalu, perlu perhatikan soal itu. Sebab, bagaimana pun koperasi harus bekerja sebagai sebuah perusahaan dengan anggota sebagai penggunanya (member is user). Artinya anggota berposisi sebagai captive market layanan koperasi.
Dalam konteks itu jumlah anggota perlu diperhatikan. Apakah layanan Kopdes cukup efisien untuk layani warga dalam satu desa atau justru satu Kopdes untuk beberapa desa. Perlu diingat koperasi bekerja berdasar logika efisiensi kolektif, makin banyak anggota yang dilayani, biaya per unit layanan makin rendah.
Kelayakan Ekonomi
Isu itu nampaknya sudah diperhatikan oleh Wakil Menteri Desa, Ahmad Riza Patria ketika rapat dengan Menteri Koperasi pada 6 Maret 2025 kemarin. Dalam paparannya Wamendes menegaskan pentingnya “optimizing economic feasibility”. Salah satu upayanya dengan kerjasama 5 atau 10 desa dalam pendanaan infrastruktur atau gudang koperasi.
Selain isu kerjasama pendanaan di atas, yang tujuannya untuk meminimalisir kontraksi anggaran pembangunan desa, economic feasibility juga perlu dikembangkan pada aspek pasar. Lebih efisien mana satu Kopdes layani satu desa atau 10 desa? Sehingga sebagai badan usaha, koperasi dapat bekerja mengikuti kaidah perusahaan sebagaimana lazimnya. Koperasi harus menghitung beban operasional dan break event agar berkelanjutan ketika kapasitas dan volume usahanya di angka tertentu.
Sehingga idealnya kerjasama 10 desa tersebut dilakukan juga pada konsolidasi pasar koperasi. Boleh jadi yang feasible adalah tak perlu satu Kopdes satu desa, tapi cukup satu Kopdes untuk 10 desa. Keinsyafan terhadap skala itu sudah dilakukan dulu kala oleh Koperasi Unit Desa (KUD). Meski namanya “unit desa”, KUD beroperasi di level kecamatan. Kopdes perlu menyontoh hal itu agar peroleh skala ekonomi yang layak.
Anggaplah Kopdes membuka unit usaha toko sembako. Satu desa anggaplah rata-rata memiliki 2.000 KK. Asumsinya adanya persaingan ketat dengan toko masyarakat. Sehingga yang belanja di toko Kopdes hanya 30 persen, maka potensi omsetnya bila rata-rata belanja Rp. 300 ribu/ bulan hanya sebesar Rp. 180 juta. Dengan margin 10 persen, laba kotornya Rp. 18 juta/ bulan. Laba itu harus bisa menutup berbagai pengeluaran seperti gaji karyawan, listrik, air, sewa tempat, bunga pinjaman, penyusutan dan sebagainya.
Asumsi di atas bila Kopdes menyelenggarakan usaha toko sembako seperti toko masyarakat. Sebaliknya bandingkan bila Kopdes bekerja di level kecamatan, yang memiliki unit ritel di beberapa desa. Maka Kopdes dapat mengembangkan semacam Sub Distribution Center (DC) yang melayani ritel jaringannya serta toko masyarakat. Bahkan dengan kecanggihan teknologi, layanan pesan-antar serta model drop-shipping dapat dikembangkan dengan memanfaatkan anggota sebagai titik pengiriman.
Peluang Efisiensi
Dengan mengonsolidasi 10 desa, beberapa efisiensi dapat dilakukan. Untuk meningkatkan efektivitas layanan, Kopdes cukup membuka unit layanan pada 10 desa di bawahnya. Dari sini terjadi efisiensi badan hukum serta biaya pendirian. Dari Rp. 350 miliar untuk 70 ribu desa, menjadi hanya 35 miliar untuk pendirian 7 ribu Kopdes di notaris.
Efisiensi lainnya yakni pada dukungan pengembangan SDM koperasi. Anggaplah masing-masing koperasi memiliki 3 orang Pengurus dan 3 orang Pengawas, totalnya 6 orang. Maka bila biaya pengembangan SDM per 1 orang nilainya Rp. 2 juta rupiah, totalnya Rp. 12 juta/ Kopdes. Angka itu dapat diefisiensikan menjadi hanya Rp. 84 miliar dari sebelumnya Rp. 840 miliar.
Berikutnya adalah efisiensi pada pra sarana. Dengan satu Kopdes layani 10 desa, maka kantor pusat koperasi cukup satu. Sedangkan lainnya cukup Tempat Pelayanan (TP) yang ukuran dan pengadaannya bisa disesuaikan. Bahkan bisa menggunakan pra sarana dari Pemerintah Desa (Pemdes) atau kerjasama dengan anggota.
Efisiensi juga akan terjadi pada investasi sarana langsung terkait layanan koperasi. Misalnya, ketika Kopdes memiliki unit agribisnis, maka satu Kopdes cukup investasi beberapa mesin atau sarana lain untuk mendukung budidaya sawah/ kebun anggota di 10 desa. Penggunaannya dapat dijadwalkan secara bergilir, di mana skema itu membuat investasi dan biaya perawatan lebih rendah.
Skenario Kelembagaan
Hal menarik lainnya yang disampaikan Wamendes pada rapat itu adalah peluang Kopdes menggunakan model multi pihak. Diasumsikan bahwa dengan koperasi multi pihak (KMP), anggota bisa berasal dari individu dan/ atau entitas. Sehingga dalam konteks itu, 10 Pemdes/ Bumdes sebagai badan hukum publik dapat menjadi anggota Kopdes. Sebutlah mereka sebagai Kelompok Pemerintah, yang bergabung dalam rangka menjaga tujuan pendirian dan orientasi usaha Kopdes agar bermanfaat besar bagi masyarakat.
Kelompok anggota lain yang relevan misalnya adalah Kelompok Produsen, bisa berasal dari petani, peternak atau nelayan. Kemudian Kelompok Konsumen, tentu warga masyarakat yang berperan sebagai pembeli atau konsumen. Bila dibutuhkan bisa ada Kelompok Investor, yang dibuka peluang berasal dari luar 10 desa atau kota lain.
Bauran kelompok itu memungkinkan Kopdes mengolaborasi sumber daya yang besar. Pemdes sebagai anggota akan menempatkan dana sebesar tertentu dalam bentuk ekuitas (Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib). Termasuk juga dapat melakukan investasi melalui instrumen modal penyertaan pada Kopdes. Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh kelompok anggota lainnya.
Kemudian pada struktur kendali, Kelompok Pemerintah (Pemdes/ Bumdes) dapat memiliki suara sebesar 40 persen. Sedangkan tiga kelompok lainnya sebesar 20 persen. Kelompok Pemerintah juga dapat memiliki 2 orang wakil sebagai Pengurus, sedang lainnya 1 orang wakil. Sehingga totalnya ada 5 orang Pengurus. Hal yang sama juga pada struktur Pengawas.
Dengan model seperti itu, pengembangan Kopdes akan lebih selaras dengan rencana pengembangan antardesa/ kecamatan. Lalu tingkat penerimaan kelembagaan Kopdes menjadi lebih tinggi. Kemudian pada sisi akuntabilitas juga akan lebih meningkat.
Kopdes sepatutnya fokus beroperasi di sektor riil. Sedangkan sektor keuangan dapat bekerjasama dengan lembaga keuangan yang sudah ada. Baik dengan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) eksisting atau lembaga keuangan bank dan non-bank lain. Hal itu agar core competency Kopdes terbentuk serta tidak merusak industri keuangan lokal yang sudah stabil.
Isu dan Momentum
Untuk menggunakan model multi pihak sebagai basis Kopdes, Pemerintah nampaknya perlu lakukan penyesuaian regulasi. Berdasar Permenkop UKM No. 8 Tahun 2021, saat ini keanggotaan KMP hanya bisa individu atau perorangan saja. Sedangkan KMP di negara lain, seperti Italia, Spanyol, Perancis dan lainnya, dapat beranggotakan campuran antara individu dan entitas, bahkan Pemerintah.
Munkner (2004), pakar hukum koperasi Jerman, menyatakan bahwa KMP pada hakikatnya, “In a very basic manner, MSCs can be defined as associations of natural and legal persons for the pursuit of common interests, irrespective of their legal form”. Logika itulah yang membuat di negara lain keanggotaan KMP dapat memadukan unsur individu (natural persons) dan badan hukum/ usaha (legal persons).
Kita memiliki momentum yang tepat, di mana sekarang UU Perkoperasian akan direvisi oleh DPR dalam beberapa bulan mendatang. Dengan memperhatikan manfaat serta kebutuhan nyata lapangan, Pemerintah dapat mengusulkan pengaturan dengan menambah norma, “Anggota koperasi multi pihak dapat berasal dari orang perorangan dan/ atau badan hukum”. Dengan cara begitu KMP sebagai basis kelembagaan Kopdes akan seperti yang diharapkan oleh Wamendes, Ahmad Riza Patria.
Skenario Implementasi
Dengan konsolidasi 10 desa satu Kopdes, maka hanya perlu membentuk 7 ribu Kopdes baru. Artinya dalam satu tahun Pemerintah membentuk 1.400 Kopdes. Angka ini cukup realistis sebagai beban kerja yang dikelola bersama oleh beberapa kementerian. Dengan adanya satu Project Operational Manual (POM) yang solid, delivery program dapat padu meski dilakukan oleh kementerian berbeda.
Kurimoto (2020), ilmuwan koperasi Jepang, dalam risetnya menemukan ada tiga kelemahan umum yang dialami koperasi di Asia, termasuk Indonesia. Pertama yakni lemahnya komitmen anggota. Kemudian lemahnya permodalan. Terakhir, lemahnya kewirausahaan. Menariknya, tiga hal itu terjadi baik pada koperasi yang dikembangkan secara top down dengan dukungan penuh Pemerintah atau bottom up atas prakarsa murni masyarakat.
Isu itu perlu sedari awal disadari dan dimitigasi dalam POM sebagai pedoman bersama Pemerintah serta pemangku kepentingan lain yang terlibat. Misalnya, meski Kopdes dipastikan akan menerima alokasi Dana Desa, perlu disyaratkan minimal partisipasi modal dari anggota. Suatu matriks dapat dibuat misalnya bila modal dari anggota sebesar 30 persen, Kopdes dapat mengakses Dana Desa sampai 70 persen. Sedangkan bila di bawah itu, mereka hanya bisa akses sebesar 50 persen dari total kebutuhan modal yang dinyatakan dalam proposal usaha.
Lalu isu lemahnya partisipasi anggota dapat dimitigasi dengan mengembangkan kelompok keanggotaan berbasis teritorial agar lebih melokal. Kelembagaan yang ada seperti Kelompok Tani (Poktan) dapat menjadi kaki Kopdes yang efektif dalam mengembangkan basis anggota dan partisipasi nyata pada sisi produksi. Lalu Dawis atau PKK dapat menjadi ruang koordinasi bagi kelompok konsumen. Seperti misalnya pada KMP iCOOP Korea Selatan, di mana pada sisi layanan ritelnya mereka berangkat dari “mother’s point of view”.
Sedangkan pada isu kewirausahaan, Pemerintah bisa fasilitasi konsultan bisnis per Kopdes. Bahkan tidak menutup kemungkinan ketika kinerjanya bagus, konsultan tersebut akan dikontrak oleh koperasi sebagai manajer pasca pendampingan dilakukan. Hal itu dapat meningkatkan peluang tumbuh-kembang serta keberlanjutan suatu Kopdes.
Saya pikir visi Presiden yang menghendaki koperasi sebagai alat pemerataan pembangunan melalui Kopdes perlu dirasionalkan agar triliun rupiah APBN benar-benar efektif dan berkelanjutan. Upaya rasionalisasi itu adalah dengan menggeser paradigma “dari 70 ribu koperasi desa, menjadi 70 ribu desa berkoperasi”. Hal itu juga selaras dengan kebijakan efisiensi fiskal yang sedang dijaga ketat oleh beliau. Semoga. []
Dimuat ulang dari: https://money.kompas.com/read/2025/03/07/080715526/merasionalkan-koperasi-desa-merah-putih
Post a comment